Jakarta,- Azyumardi Azra terlihat lelah belum hilang dari wajahnya.
Pada Kamis, 10 Juni 2010, ia baru saja tiba di rumahnya di Puri Laras II, bilangan Ciputat, dari aktivitasnya sekitar pukul lima sore. Tiba-tiba telepon selulernya bergetar.
Terdengar suara seseorang dengan aksen Inggris. “Saya ada berita baik. Ratu mau kasih gelar CBE untuk Anda,” kata pemilik suara yang tidak lain Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Martin Hatfull. Tidak paham apa maksudnya, Azyumardi dengan polos bertanya apa itu CBE. “Commander of the Order of British Empire, Azyumardi, salah satu gelar dan kehormatan tertinggi yang diberikan Ratu,” Hatfull menjelaskan.
Mendapat kehormatan dari Kerajaan Inggris seperti itu, mantan rektor Universitas Islam Negeri Jakarta ini dengan rendah hati menjawab bersedia menerimanya. Pada 28 September 2010, atas nama Ratu Elizabeth, Hatfull menyampaikan penganugerahan CBE tersebut di kediaman Azyumardi. Seusai prosesi penganugerahan itu, banjir ucapan selamat hinggap di ponselnya. Bahkan kawan Azyumardi dari Malaysia, Shamsul A.B., yang juga guru besar Universiti Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur, takjub kepadanya. Kata dia, warga Malaysia saja yang jelas-jelas anggota Persemakmuran belum ada yang mendapatkan gelar CBE.
Belakangan Azyumardi tahu, dia bukan hanya warga Indonesia pertama yang meraih gelar kebangsawanan Kerajaan Inggris itu, tapi juga orang pertama dari negara non-Persemakmuran. Gelarnya bahkan lebih elite ketimbang yang didapat David Beckham yang “Cuma” mendapat Officer of the Order of British Empire (OBE). Dengan gelarnya ini, Azra—begitu Azyumardi disapa—telah diakui sebagai anggota keluarga bangsawan Inggris. Dia berhak memakai gelar sir di depan namanya, bebas keluar-masuk Inggris tanpa visa, dan berhak dimakamkan di Inggris Raya.
Pemberian gelar bergengsi itu tidak lepas dari keterlibatan pria yang lahir di Lubuk Alung, Sumatera Barat, pada 4 Maret 1955, itu sebagai salah satu tokoh pembentukan UK-Indonesia Islamic Advisory Group (UK-Indonesia AIG). Sebagai cendekiawan muslim, Azra dipercaya menjadi co-chairman lembaga yang bertugas meningkatkan kepahaman Islam di antara kedua negara itu.
Pemberian gelar kebangsawanan Azra itu dikisahkan dalam buku Cerita Azra, yang diluncurkan pada Kamis lalu di Hotel Nikko Jakarta. Ini adalah biografi pertama Azra. Penulisnya adalah Andina Dwifatma dan diterbitkan Erlangga. Buku dengan gaya bertutur ini banyak mengungkap kisah Azra yang belum banyak diketahui orang.
Saat kecil, pakar sejarah dan peradaban Islam ini ternyata tidak hanya doyan membaca, ia juga punya hobi nonton film. Empat sampai lima kali seminggu dia pergi ke Bioskop Raya di Padang dengan harga tiket Rp 50 sekali masuk. Kesukaannya adalah film-film India dan James Bond si agen rahasia. Anak ketiga pasangan Azikar dan Ramlah ini juga gandrung cerita silat Kho Ping Hoo. Dia betah membacanya hingga puluhan jilid. Apa yang membuatnya tertarik?
Bagi Azra, cerita dalam Kho Ping Hoo mengajarkan nilai dan falsafah kehidupan, seperti keberanian, keluhuran budi, kejujuran, dan kesabaran, dengan sangat subtil. “Belum lagi di sana-sini terselip kisah percintaan yang romantis,” ujarnya.
Cerita-cerita menarik masa kecilnya bertebaran di buku ini. Ada kisah Azra telat masuk sekolah. Gara-garanya dia dianggap belum cukup umur. Azra tidak bisa menjangkau ujung telinganya (seperti di iklan susu tempo dulu). Ada pula tingkah naif yang biasa dilakukannya di kala sakit. Jika terkena migran, kepalanya diikat dengan sapu tangan atau ikat pinggang. Ini dilakukan untuk menahan rasa sakit yang sangat.
Mantan wakil presiden Jusuf Kalla, dalam acara peluncuran, tak Cuma terkesan oleh kesederhanaan Azra yang pernah menjadi deputinya. Kalla juga memuji kemampuan analisis dari akademisi itu. “Saya tidak butuh orang yang beretorika, tapi butuh analisis. Itu yang saya dapatkan dari Pak Azyumardi,” katanya.
Pengacara Todung Mulya Lubis mengaku pertama kali mengenal Azra sewaktu sama-sama kuliah di Boston, Amerika Serikat. Tapi perkenalan mendalam justru didapat setelah kembali ke Tanah Air lewat tulisan-tulisannya yang tersebar di media massa. “Saya pikir, wah, ini salah satu calon intelektual yang punya masa depan cerah,” kata Todung, yang menyapa Azra dengan panggilan Edi. Prediksi Todung terbukti. Sosok cendekiawan muslim itu tak Cuma disegani di Indonesia, tapi juga dunia internasional. ***