SULTENG – Anggaran Belanja Tambahan atau ABT tahun 2025 di Pemerintahan Provinsi Sulawesi Tengah hingga 10 Nopember 2025 – hari ini, Senin ditengarai belum berjalan normal. Sementara waktu menyisakan tak cukup 50 hari masa kerja hingga akhir tahun. Dikuatirkan tak optimalnya pelaksanaan ABT 2025 akan berdampak pada roda ekonomi, hukum, adminitratif, dan pelayanan publik.
‘’TAPD harus bertanggung jawab. Gubernur mesti menegur TAPD. Jangan sampai pemerintah pusat akan memberikan teguran dan saksi. Mestinya sudah awal Oktober lalu TW 4 mesti efektif pasca efisiensi dan arahan Menteri Keuangan dan Mendagri,’’ ujar salah satu pejabat pratama di Organisasi Perangkat Daerah (OPD) ke redaksi kailipost.com pekan ini.
Katanya, prediksi APBD 2026 Sulteng akan menurun Rp1,4 triliun. Sehingga akan banyak belanja tak penting bagi masyarakat akan dipangkas. Bila ABT 2025 lambat action, akhir tahun penyerapan lemah dan Silpa tinggi. ‘’Pemprov dinilai tak mampu membelanjakan anggaran yang sudah diprogramkan. Yang jelek nama gubernur,’’ terangnya berapi – api.
Secara teoritis keterlambatan membelanjakan anggaran pemerintah (baik APBN maupun APBD) menimbulkan sejumlah konsekuensi negatif, baik dari sisi ekonomi, hukum, maupun pelayanan publik.
Berikut dampak utama dari keterlambatan belanja anggaran:
Dampak Ekonomi
- Melambatnya Pertumbuhan Ekonomi:Belanja pemerintah adalah salah satu motor penggerak ekonomi. Keterlambatan belanja akan menghambat perputaran uang di daerah/masyarakat, yang berdampak pada minimnya kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi riil.
- Gangguan Proyeksi Pertumbuhan: Target pertumbuhan ekonomi yang telah dicanangkan bisa terganggu dan tidak tercapai akibat tersendatnya realisasi belanja pemerintah.
- Ketidakpastian bagi Sektor Swasta: Sektor swasta, yang sering kali menjadi mitra pelaksana proyek pemerintah, akan kesulitan dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatannya, yang dapat menghambat investasi dan produktivitas.
- Penumpukan Belanja di Akhir Tahun:Keterlambatan di awal tahun sering kali menyebabkan penumpukan proyek dan belanja di akhir tahun anggaran. Hal ini berisiko pada kualitas pekerjaan yang tergesa-gesa dan kurang optimal.
- Risiko Inflasi (di daerah tertentu): Di beberapa daerah, keterlambatan pencairan APBD dapat berdampak terhadap inflasi karena kurangnya pasokan uang beredar di masyarakat pada waktu yang seharusnya.
Dampak Pelayanan Publik dan Pembangunan
- Terhambatnya Pelaksanaan Kegiatan dan Proyek: Proyek-proyek pembangunan, infrastruktur, dan program pelayanan publik (seperti kesehatan dan pendidikan) menjadi terlambat atau bahkan gagal dilaksanakan, sehingga manfaatnya tidak dapat dirasakan tepat waktu oleh masyarakat.
- Target Pembangunan Tidak Tercapai: Kinerja pemerintah daerah atau pusat dalam mencapai target pembangunan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) atau Rencana Kerja Pemerintah (RKP) bisa tidak tercapai.
- Menurunnya Kualitas Pelayanan: Kualitas layanan dasar kepada masyarakat bisa menurun jika anggaran untuk operasional atau program bantuan sosial terpotong atau terlambat dicairkan.
Dampak Hukum dan Administratif
- Sanksi Administratif: Pemerintah daerah (Pemda) yang terlambat dalam penyerapan anggaran dapat terancam sanksi dari pemerintah pusat, seperti penundaan atau pemotongan Dana Transfer Umum (DTU).
- Masalah dalam Pengesahan APBD:Keterlambatan dalam penetapan Peraturan Daerah (Perda) APBD dapat menimbulkan konsekuensi hukum bagi kepala daerah dan DPRD yang terlibat.
- Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) Tinggi: Keterlambatan belanja akan menghasilkan SiLPA yang tinggi di akhir tahun anggaran, yang menunjukkan ketidakefektifan pengelolaan keuangan daerah.
- Gagal Lelang: Proses pengadaan barang dan jasa yang terlambat dapat menyebabkan gagal lelang, yang memaksa proses diulang dan semakin menunda pelaksanaan kegiatan.
Bagaimana komentarmu sebagai warga Sulteng? ***








