Oleh : Hamzinah, S.I.Pust (Pustakawan & Pegiat Media Sosial)
TEKHNOLOGI Digital hari ini telah menjadi bagian integral dalam kehidupan generasi muda muslim. Riset We Are Socialdan Data Reportal 2025 menunjukkan bahwa anak muda berusia 16-24 tahun menghabiskan rata-rata 7-9 jam per hari di internet, sementara lebih dari 97% menggunakan smartphone sebagai perangkat utama. (www.dataindonesia.id)
Paparan masif ini bukan hanya membentuk cara berpikir dan bersikap tetapi juga mempengaruhi cara mereka memahami agama. Pola belajar agama yang dulu bertumpuk pada guru dan majelis ilmu, kini bergeser pada algoritma media sosial yang menonjolkan konten cepat dan instan.
Ruang digital yang diakses generasi muda hari ini, pada dasarnya telah dikuasai oleh segelintir perusahaan teknologi raksasa. Berdasarkan laporan The Global Internet PhenomenaReport yang dirilis perusahaan Network Intelligence Sandvine, lebih dari 65-70% trafik internet dikuasai oleh layanan video online seperti YouTube, TikTok dan Netflix. (www.tempo.co)
Google sendiri secara paripurna menguasai lebih dari 90% pangsa pasar teknologi mesin pencari (Google Search), sementara Meta melalui Facebook, Instagram, dan WhatsAppmenguasai miliaran interaksi sosial digital setiap harinya. (www.kompas.id)
Data ini menunjukkan bahwa sebagian besar arus informasi, hiburan dan interaksi dan digital dunia, kini berada di bawah kendali korporasi kapitalis global. Ini menunjukkan bahwa ruang digital telah menjadi salah satu faktor paling berpengaruh dalam membentuk pola pikir dan identitas keagamaan generasi muda muslim.
Laporan Unesco menegaskan, bahwa platform digital kini menjadi ruang utama pertarungan nilai. Di mana anak muda lebih banyak terpapar konten global dibandingkan dengan konten lokal yang mendorong individualisme, budaya liberal hingga gaya hidup sekuler.
Digitalisasi Keniscayaan
Dominasi ini menjadikan dunia digital sebagai instrumen kontrol global. Bahkan ada pihak-pihak yang sengaja menggunakannya sebagai alat penjajahan dan ekonomi. Akibatnya, lahirlah generasi muslim yang mengalami splitpersonality, satu sisi ingin menjadi muslim taat namun sisi lainnya larut dalam nilai sekuler yang terus mereka konsumsi.
Mereka memiliki identitas yang rapuh, kehilangan kepercayaan diri sebagai muslim dan tumbuh dengan pemahaman agama yang sempit, yang bahkan terbentuk oleh algoritma, bukan oleh ulama. Ini menunjukkan bahwa dunia digital bukan ruang netral. Melainkan, arena ideologis yang secara sistematis membentuk cara pandang generasi muda terhadap agama, kehidupan dan masa depan mereka.
Kemajuan teknologi, termasuk digitalisasi pada dasarnya merupakan keniscayaan dalam peradaban umat manusia. Namun, ketika perkembangan ini berada di bawah hegemoni kapitalisme global, ia justru berubah menjadi sumber berbagai bencana sosial bagi generasi muda.
Ruang digital hari ini dipenuhi paparan konten merusak seperti pornografi, judi online, pinjol, cyberbullying, human trafficking serta propaganda moderasi dan liberalisasi nilai. Semua ini tidak hanya menghancurkan kepribadian individu tetapi juga menggerogoti fondasi keimanan generasi muslim.
Di saat ancaman ini semakin masif, negara sekuler justru tidak hadir sebagai penjaga. Alih-alih menciptakan ekosistem digital yang aman dan bersih. Negara gagal membangun regulasi sistemik yang melindungi generasi dari arus destruktif. Yang terjadi malah sebaliknya, kebijakan digitalisasi yang diambil hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi, investasi dan kepentingan industri, bukan visi ideologis untuk menjaga umat.
Akibatnya, digitalisasi tanpa arah ini, mempercepat proses sekularisasi dan liberalisasi di tengah masyarakat. Nilai-nilai Islam terkikis secara perlahan melalui konten, algoritma dan budaya konsumtif yang diimpor dari luar. Jika dibiarkan hal ini tidak hanya melemahkan kualitas generasi, tetapi juga memperpanjang hegemoni ideologis bangsa-bangsa penjajah atas dunia Islam.
Islam, Support System Generasi Terbaik
Problem ini hanya mungkin diselesaikan dengan hadirnya negara Islam yang memiliki fungsi utama sebagai raa’in (pengurus urusan rakyat) dan junnah (pelindung). Hal ini pernah disabdakan oleh Rasulullah SAW, “SesungguhnyaImam (Khalifah) adalah perisai, di belakangnya umat berperang dan berlindung” (HR. Muslim).
Seluruh kebijakan negara Islam dirancang untuk menjaga dan menyelamatkan generasi. Perlindungan ini tidak hanya berlaku di dunia nyata, tetapi juga mencakup ruang digital. Dengan visi ideologis yang jelas, negara Islam memastikan setiap kebijakan digital, pendidikan dan informasi, selalu berpihak pada penjagaan aqidah, akhlak dan intelektualitas umat.
Islam sejatinya tidak anti pada kemajuan teknologi, termasuk bidang digitalisasi. Namun dalam Islam, teknologi adalah wasilah untuk mempermudah kehidupan, sedangkan pengembangannya didedikasikan hanya demi kemuliaan agama dan umat Islam dengan basis akidah dan hukum-hukum syara’.
Negara Islam adalah negara independent yang tidak bergantung pada kekuatan asing, termasuk dalam bidang teknologi digital. Kemandirian ini memungkinkan negara untuk mengembangkan infrastruktur digital, perangkat lunak, keamanan siber, dan teknologi kecerdasan buatan yang ditujukan sepenuhnya untuk kemaslahatan Islam dan kaum muslim. Dunia pendidikan, riset dan inovasi, akan mendapat dukungan penuh dari negara. Sehingga teknologi menjadi alat penguatan umat. Bukan instrumen penjajahan budaya maupun politik.
Dalam pengelolaan ruang digital, negara akan melakukan penyaringan ketat terhadap seluruh konten yang merusak aqidah, kepribadian Islam dan struktur sosial umat menggunakan teknologi yang paling mutakhir. Ruang digital diarahkan menjadi sarana pendidikan Islam, penyebaran dakwah dan media propaganda negara untuk menunjukkan kekuatan, peradaban dan ketangguhan umat Islam kepada dunia.
Dalam sistem Islam terdapat langkah preventif perlindungan yang menjamin lahirnya generasi pemimpin arsitek peradaban cemerlang. Langkah pertama berupa benteng ketakwaan yang inheren ada pada dirinya sendiri, antara lain diperoleh melalui ajaran tentang akidah dan moral, serta sebagai dampak penerapan sistem pendidikan berbasis akidah, serta pengajaran dan dakwah Islam, dan lainnya.
Langkah kedua berupa keluarga yang kokoh, baik struktur dan fungsinya, dan langkah ketiga berupa masyarakat yang memberi lingkungan kondusif dengan tradisi amar makruf nahi mungkar yang sangat kental. Langkah kedua dan ketiga ini niscaya muncul karena dukungan penerapan syariat, seperti sistem ekonomi yang adil dan menyejahterakan, sistem keuangan negara (baitulmal) yang kuat dan berkesinambungan, sistem sosial yang agung dan menjaga masyarakat dari keburukan, sistem hukum yang mengeliminasi kemaksiatan dan kriminalitas, serta sistem media massa yang mencegah penyebaran keburukan, dan lainnya.
Adapun langkah terakhir adalah keberadaan negara yang menjadi support system yang utuh dan menyeluruh bagi terwujudnya seluruh langkah perlindungan yang lainnya. Caranya adalah dengan menerapkan seluruh syariat Islam secara praktis dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat, tidak terkecuali di ruang digital. Islam bahkan meniscayakan penggunaan ruang digital sebagai sarana pendidikan dan penguat dakwah, sekaligus alat propaganda untuk menunjukkan kekuatan negara di hadapan negara-negara luar.
Penegakan syariat Islam secara kaffah, akan menghilangkan akar-akar kerusakan yang saat ini subur di ruang digital baik pornografi, kriminalitas, penipuan maupun liberalisasi. Karena itu, perjuangan menegakkan negara Islam bukan sekadar kewajiban syar’i tetapi juga kebutuhan mendesak demi menyelamatkan generasi dari kehancuran peradaban modern.
Saatnya Pemuda Muslim Menjadi Pelopor Perubahan
Rasulullah saw. bersabda, “Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara: waktu mudamu sebelum datang masa tuamu.” (HR Al-Hakim dan al-Baihaqi).
Generasi muda memiliki potensi luar biasa. Mereka berada pada puncak kekuatan fisik, vitalitas, energi, dan mental. Menilik sejarah peradaban Islam, Rasulullah SAW membina para sahabat dengan ideologi Islam sehingga terbentuk sosok tangguh seperti Ali bin Abi Thalib yang pada usia belasan tahun rela tidur di ranjang Nabi saat malam hijrah. Juga ada sosok Usamah bin Zaid yang memimpin pasukan besar pada usia 18 tahun. Kita tentu juga ingat pada kisah para pemuda Ashabul Kahfi yang berjuang menolak sistem kufur.
Mereka semua bukan cerita fiksi atau super hero sebagaimana dalam film Barat. Mereka adalah manusia teladan yang menjadi role model bagi generasi era sekarang. Sudah saatnya pemuda muslim hari ini menyadari bahwa mereka bukanlah objek penjajahan digital. Namun, mereka adalah subjek perubahan menuju kebangkitan Islam, sebagaimana generasi pendahulu mereka.
Potensi pemuda muslim yang dahsyat ini tentu hanya bisa diaktivasi dengan adanya pembinaan Islam kaffah. Pembinaan akan mampu membentuk identitas mereka sebagai seorang muslim. Pembinaan juga akan membentuk cara berpikir dan berperilaku Islami. Dengan demikian akan terbangun kesadaran dalam diri generasi muda bahwa Allah tidak menciptakan mereka menjadi follower, tapi menjadi pemimpin di muka bumi. Allah berfirman, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’” (TQS Al-Baqarah: 30). Wallahu a’lam bish shawwab








