NAMA Dusun Buyu Katedo, di Kecamatan Lage memang terkesan sayup-sayup, statusnya dalam tata pemerintahan sebagai salah satu dusun di desa Sepe, membuat dusun yang terletak dalam wilayah perbukitan itu kurang populer di kabupaten Poso. Padahal dusun yang mulai dibuka tahun 1968 itu, memiliki kekhasan tersendiri dengan kisah manis dan pahit, dua sisi yang tak terpisahkan.
Mungkin karena itu, Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (SKP-HAM), merasa perlu membuka ‘Rumah Belajar’ di dusun tersebut sebagai bentuk kepeduliannya terhadap warga Buyu Katedo. “Bagi kami, Buyu katedo adalah sebuah kampung yang ramah dan indah, tidak seperti yang digambarkan orang lain sebagai dusun yang seram. Stigma yang menyeramkan harus dihapus dengan suasana belajar mengajar sambil bekerja mengolah lahan perkebunan yang ada”, kata Nurlaela Lamasitudju, sekjen SKP-HAM kepada Kaili Post, dua hari lalu.
Dalam memperingati hari Hak atas Kebenaran dan Keadilan bagi Korban, 26 Maret 2017 lalu, Rumah Belajar SKP-HAM berkenan mengunjungi lokasi tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di dusun tersebut, 16 tahun silam. Asal tahu saja, dalam tragedi kemanusiaan yang terjadi pada tahun 2001 itu, imam dusun bersama 13 orang lainnya gugur sebagai korban.
Nah, untuk mengenang perisitiwa kekerasan itu, warga Buyu Katedo membuat semacam memorialisasi sederhana dengan memajang nama-nama korban di sebuah pohon durian, dengan menggantinya dengan tanaman kelapa, seraya menabur bunga di bawah arahan imam dusun sambil berdoa. “Memorialisasi ini tentu tidak dimaksudkan untuk mewariskan dendam kepada generasi baru, tapi memorialisasi ini dimaknai sebagai bentuk kearifan lokal warga dalam menyikapi sebuah peristiwa”, tambah Nurlaela Lamasitudju. “Tanaman kelapa memiliki nilai filosofis yang lebih tinggi, mulai dari buah, kulit buah (sabuk kelapa), tempurung (batok kelapa), daun, dan lidinya bisa bermanfaat. Kami ingin anak-anak Buyu katedo, ke depan bisa memberi konstribusi untuk kemajuan Poso ke depan”, kata Imam Dusun.
“Hari ini anak-anak Buyu katedo belajar tentang sejarah dusunnya, pohon durian yang telah mati secara perlahan akan tumbang, tapi kesadaran anak-anak untuk berpikir maju tumbuh akan menjulang tinggi seiring dengan semakin tingginya pohon kelapa yang telah mereka tanam, menggantikan pohon durian”, kata Agus Saleh, yang selama ini banyak menghabiskan waktunya untuk mengawal ‘rumah belajar’, sejak setahun berlalu.
Dusun Buyu katedo (bukit labu), pertama kali dibuka oleh T.Lampangaja 1968. Namun seiring dengan migrasi penduduk secara perlahan, warga lama yang berasal dari desa Toyado mulai meninggalkan dusun tersebut. Ada pun warga Bugis yang saat ini banyak menghuni perkampungan tersebut, diketahui mulai menetap pada tahun 1986. **
REPORTER/EDITOR: DARWIS WARU