Jokowi Tambah Utang Rp1.809 Triliun Selama Menjabat, Berisiko?

  • Whatsapp
banner 728x90

Sumber: Tirto.id

JUMLAH Utang pemerintah Indonesia di era kepemimpinan
Joko Widodo mengalami lonjakan cukup signifikan. Dalam 4 tahun terakhir, sejak
2014 hingga 2018, utang Indonesia bertambah hingga Rp1.809,6 triliun.


Data APBN yang dirilis Kementerian Keuangan, Selasa, 22 Januari menunjukkan,
total utang pemerintah hingga Desember 2018 berada di angka Rp4.418,3 triliun.
Sementara pada periode yang sama pada 2014, posisi utang Indonesia berada di
angka Rp2.608,7 triliun.

Peningkatan utang tentu tak lepas dari ekspansi belanja pemerintah yang tak
diiringi oleh peningkatan tax ratio. Selain itu, deviden yang didapat dari
BUMN ke kas negara juga tak sebanding dengan utang yang digali karena proyek
penugasan.

Pada 2014, misalnya, laba bersih seluruh perusahaan pelat merah tercatat Rp148
triliun—jumlah BUMN pada 2014 sempat mencapai 119 BUMN, pada 2017 menyusut jadi
115 BUMN karena kebijakan holding.

Tahun berikutnya, hanya meningkat menjadi Rp150 triliun (2015), Rp164 triliun
(2016), Rp185 triliun (2017) dan Rp218 triliun (2018). Sementara pembengkakan
utang mencapai Rp3.769 triliun (2015), Rp4.216 triliun (2016), dan Rp4.825
triliun (2017).

Meski demikian, Managing Director Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Indonesia Toto Pranoto mengatakan, rendahnya penerimaan tersebut
tak semata disebabkan oleh faktor kebijakan, melainkan juga eksternal.

PLN, misalnya, jadi salah satu BUMN yang merugi karena fluktuasi nilai kurs,
lantaran belanja modalnya menggunakan valuta asing (valas). Sementara produk
yang dijual PLN menggunakan rupiah.

“Volatilitas nilai tukar rupiah, harga komoditi yang turun, hingga kenaikan
harga sebagian raw material yang dibutuhkan BUMN juga berpengaruh
[pada kinerja keuangan]” kata Toto, Rabu (23/1/2019).


Terkait ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani
Indrawati menyampaikan posisi utang pemerintah saat ini masih cukup aman, yakni
29,98 persen dari produk domestik bruto (PDB) yang berdasarkan data sementara
sebesar Rp14.735,85 triliun.

Mantan direktur pelaksanaan Bank Dunia itu berpendapat, penggunaan utang
merupakan solusi yang layak diterapkan dalam membangun infrastruktur.

Sebab, kata Sri Mulyani, tak mungkin pemerintah mencabut jaminan sosial yang
diberikan pemerintah untuk membesarkan porsi anggaran infrastruktur.

“Kan, enggak mungkin ada 53 juta anak kita minta enggak sekolah dulu selama
pembangunan infrastruktur,” kata Sri Mulyani, Selasa kemarin.

Waspadai Bunga Utang

Peneliti dari Institute for Development of
Economies and Finance (Indef) Bihma Yudisthira menilai posisi pembayaran utang
pemerintah sebenarnya masih rentan terhadap tekanan eksternal.

Hal tersebut perlu diperhatikan, kata Bhima, terutama karena sebagian besar
utang pemerintah berasal dari penerbit Surat Berharga Negara (SBN).

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, porsi utang SBN pemerintah memang sangat
besar, yakni 8,1 persen, dengan rincian 58,8 persen berdenominasi rupiah,
sementara 22,8 persennya menghilangkan denominasi valas (mata uang
asing).

Implikasinya, kata Bhima, pemerintah harus membayar bunga lebih mahal yakni 8,1
persen untuk tenor 10 tahun.

“Bunga surat utang Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di Asia,”
kata Bhima saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (23/1/2019).** 

Berita terkait