Sumber: antaranews.com
|
fasilitator oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam upaya
rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana di Sulawesi Tengah(Sulteng).
“Penggunaan aparat militer sebagai fasilitator dalam tahapan rehabilitasi
dan rekonstruksi itu menunjukan bahwa perspektif BNPB dalam menangani bencana
masih dalam paradigma tanggap darurat,” kata Sekjen Pasigala Centre, Andika,di
Palu, Selasa (5/2/2019).
Menurutnya, pascabencana dampak yang timbul itu bersifat sosial dan
antropologis. Menjadi salah kaprah, ketika negara justru hendak mendorong
pendisiplinan lewat mobilisasi aparatur militer.
“Penggunaan Babinsa sebagai fasilitator bencana itu justru menunjukan
kesan bahwa negara hendak memaksakan semua maksud dan rencananya agar
masyarakat korban mau mengikuti rencana yang telah dibuat tanpa partisipasi
korban itu,” kata Andika.
Yang dimaksud dengan negara hadir dalam bencana itu adalah memberikan ruang
yang lebih luas pada pemerintah daerah, provinsi, kabupaten, kota, dan aparatur
sipil, birokrat untuk terlibat dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi.
Bagi Andika, pelibatan pemerintah daerah dalam konteks desentralisasi sistem
penanganan kebencanaan, agar terjadi proses pembelajaran dalam konteks
kesiap-siagaan bencana.
“Kami khawatir, penggunaan aparat militer dalam kerja-kerja pendampingan
rehabilitasi dan rekonstruksi akan berjalan kontra produktif dengan enam strategi
penanganan bencana yang disampaikan BPresiden Jokowi, di Jawa Timur pada
beberapa hari yang lalu,” ujarnya.
Politisi PSI itu menilai, negara diperlukan hadir dalam bencana itu sebagai
upaya untuk saling belajar dengan pelibatan seluruh stakeholder daerah,
birokrat, dan juga rakyat untuk sama-sama melewati tahapan rehab-rekon.
Sebaliknya, menurut dia, penggunaan aparat militer menunjukan suatu pola
sentralisasi penanganan bencana yang tidak mungkin mencapai substansi
pembelajaran mitigatif.
“Pola militerisasi bersifat berdaya paksa dan belum ada cerita ada proses
partisipatif di dalamnya. Yang ada adalah kehendak mendisiplinkan orang untuk
mau mengikut rencana yang telah dibuat lembaga-lembaga ?donor pemberi hutang
seperti Bank Dunia, ADB, dan JICA,” kata Andhika.**