Syukuri Puasa Dalam Tenda Pengungsian

  • Whatsapp
banner 728x90

Reporter: Firmansyah Lawawi


AZAN Maghrib berkumandang di shelter pengungsian warga Balaroa, Minggu (12/5/2019).
Lantunan teduhnya menggema, membelah senja, menerobos
sekitar masjid darurat. Ust Ithank (45) terkesiap, ditutupnya kitab yang dibaca sejak
sore.
Sembari membenarkan tempat duduk,
ia memanggil santrinya dan guru ngaji untuk bergabung.
Hidangan telah tersaji di tengah karpet.
Usai membaca do’a kelompok pengajian menyantap menu buka puasa yang sederhana
di masjid darurat.
Genap lima bulan lamanya ust
Ithank dan ust Roy di bawah bimbingan Habib Idrus mengajarkan anak-anak korban
likuifaksi mengaji.
Taman pengajian itu berada di
pengungsian Balaroa.
“Saya sering duduk dengan mereka
yang tinggal di pengungsian, mereka sudah 7 bulan tinggal di tenda. Tenda sudah
ada yang bocor, mereka tambal,” kata Ithank.
Masjid darurat yang digunakan
sebagai taman pengajian, ceritanya, kalau hujan air masuk membasahi karpet
karena sengnya pendek.
“Palu panas suhunya, sedangkan
kita dalam rumah saja panas, bagaimana mereka yang di tenda. Bagaimana mereka
ketika musim musim hujan,” tambahnya.
Salah seorang penghuni shelter, Suhayati (41
tahun) mengaku meski suhu dalam tenda pengungsian sangat panas, tapi dia
beserta suaminya tetap menjalankan puasa dengan khusyu dan penuh rasa syukur.
“Beginilah nasib kami yang berada di tenda
pengungsian. Mau tidak mau dijalani dan disyukuri semuanya. Meski hawa  panas matahari di
siang hari masuk ke dalam tenda, kami tetap menjalankan puasa. Karena
hal itu merupakan kewajiban bagi ki
ta semua,” ungkapnya.
Dikatakanya sudah tujuh bulan berselang setelah
Likuefaksi menelan rumah serta harta benda miliknya di jalan
Puring kompleks Perumnas Balaroa. Dia bersama
keluarganya tinggal di shelter tersebut.
“Suamiku terkena stroke beberapa bulan
lalu. Alhamdulilah dengan penuh ketabahan, dia tetap menjalankan puasa, meski
dengan keterbatasan fisik yang dialaminya
,”
Sehari-harinya para pengungsi memasak untuk santap berbuka dan sahur di
dapur masing-masing.



Menyangkut  suplai air bersih ke shelter, Suhayati mengungkapkan
bahwa hingga saat ini, penyaluran air pada bulan Ramadhan intensif tiap dua
hari sekali masuk ke tempat mereka.
Sebelumnya stok air bersih masih sangat
terbatas
, kata Suhayati. Meskipun pihak koordinator
shelter telah mengupayakan membuka area baru dengan pemasangan pipa dari sumber
mata air yang berada di luar wilaya
h kota Palu, atau di area
Kabupaten Sigi, namun terkadang belum memenuhi kebutuhan penyintas di shelter
tersebut.
Yuni (30 tahun) warga eks jalan Sakura kompleks  Perumnas
Balaroa yang bukan hanya rumah dan harta bendanya hilang, namun beberapa
anggota keluarganya hilang ditelan Likuefaksi, mengatakan telah terbiasa dengan
hawa panas di
dalam tenda pengungsian.
“Kalau tidak percaya, silahkan masuk dan
bertahan lima menit saja di dalam tenda. Komiu rasakan sendiri bagaimana
panasnya d
i dalam, ” tuturnya sambil tersenyum.
Namun semua itu 
tidak menghalangi niatnya dalam melaksanakan puasa. Terkadang sesama
penghuni shelter
, beber Yuni, saling menguatkan satu sama lainya. Sehingga suasana panas yang mereka
rasakan beba
nnya 
sedikitnya berkurang.
“Kami terkadang saling menguatkan dengan
penghuni shelter. Jika matahari sangat panas, ada-ada saja cara untuk
mengakalinya. Biasanya kami saling meneriaki, baku gara, bacerita yang
lucu-lucu, setelah itu ketawa rame-rame,” akunya.
Terkait bantuan logistik di pengungsian, Yuni
mengatakan bahwa sudah beberapa bulan berselang, belum ada bantuan yang masuk
ke tempat mereka. “Biasanya bantuan yang datang dari pihak swasta saja.
Itupun tidak kontinyu,” akunya.
Di tempat berbeda, namun masih dalam area
shelter Balaroa, Nilham (44 tahun) warga
eks jalan Seruni Perumnas mengakui meski hidup dalam tenda yang hawanya
panas. Namun dirinya tetap menjalani puasa bersama keluarganya.
“Hidup ini harus dijalani le. Walaupun
rumah dan harta saya terkubur saat Liku
ifaksi, bukan menjadi satu halangan untuk bangkit. Tetap berusaha
walaupun dengan penghasilan seadanya saja. Meski disyukuri karena Allah masih
memberikan keselamatan pada saat bencana,” katanya.
Dia juga menepis asumsi pemerintah bahwa warga
perumnas Balaroa ekstrim dan tidak bisa diatur.
Menurutnya, mereka bukannya tidak mau di relokasi serta menolak
pembangunan Huntara. Hal itu disebabkan adanya ketrlambatan dari pemerintah
terkait realisasi Hunian Tetap bagi mereka.
“Kami hanya sesalkan, mengapa warga
Balaroa yang seharusnya menjadi skala prioritas pembangunan Huntara maupun
Huntap tidak diutamakan. Malah pembangunanya dilaksanakan di wilayah yang tidak
terlalu parah terdampak bencana alam. Kami juga mengerti dengan keterbatasan
anggaran pemerintah daerah dalam pembebasan lahan. Tapi seharusnya kami yang
diprioritaskan,” tandasnya.
Olehnya dia berharap kepada pemerintah agar
memperhatikan nasib mereka yang ada di shelter pengungsian. Utamanya realisasi
pembangunan hunian tetap serta jaminan hidup.
Hingga saat ini, lanjut Nilham, warga penghuni shelter masih menantikan bantuan yang
masuk ke tempat mereka. Dikatakan
nya, bantuan logistik hanya
didonasikan oleh pihak swasta maupun lembaga kemanusian. Untuk bantuan dari
pemerintah, belum ada lagi masuk hingga saat ini,” paparnya.
Wali Kota Palu Hidayat menjelaskan masih banyaknya pengungsi tinggal di
selter disebabkan fasilitas umum dan vital di hunian sementara (huntara) baik
yang dibangun oleh Non-Government Organization (NGO) maupun oleh Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) belum terpasang dan tersedia.
Selain itu masih adanya pengungsi yang tinggal di selter atau tenda
pengungsian, lanjutnya juga disebabkan belum siapnya lahan yang akan
dimanfaatkan sebagai kawasan pembangunan huntara.
**

Berita terkait