Atur Huntara Kurang Tepat, Sebabkan Kekerasan Berbasis Gender

  • Whatsapp

PENGATURAN Tenda dan penempatan hunian sementara atau tempat pengungsian korban bencana gempa, tsunami dan likuefaksi di Palu, Sigi dan Donggala yang kurang tepat dan tidak representatif gender dapat menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya kekerasan berbasis gender.

“Pengaturan tempat pengungsian yang kurang tepat dapat meningkatkan resiko terjadinya kekerasan berbasis gender,” kata Staf Ahli Bidang Pemerintahan dan Hukum, Norma Mardjanu, dalam sambutannya pada rapat koordinasi perlindungan perempuan dan anak dalam bencana, di Palu, Selasa (18/6/2019).

Ia menambahkan pengaturan toilet dan kamar mandi, serta fasilitas lainnya di pengungsian yang kurang aman, dapat memancing terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.

Selain itu, kekerasan juga dapat terjadi, kata dia, dikarenakan mekanisme distribusi bantuan yang tidak memperhatikan kelompok rentan dan lain-lain.

Terkait kondisi itu dibutuhkan pendekatan multisektoral untuk pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender pada situasi bencana.

Dalam situasi bencana, resiko kekerasan berbasis gender akan meningkat disebabkan beberapa faktor, seperti sistem perlindungan sosial yang terganggu, keluarga yang terpisah, lemahnya aturan keamanan dan keselamatan khususnya pada shelter yang rentan terjadinya konflik di pengungsian.

Ia menyebut klaster perlindungan hak perempuan dan anak berbasis gender di pengungsian perlu di bentuk, untuk memastikan upaya pencegahan dan penanganan dapat di laksanakan dalam situasi bencana di pengungsian.

Klaster ini sebagai tindak lanjut dari klaster nasional yang di dalamnya terdapat delapan klaster dalam bencana meliputi, pendidikan, kesehatan, pencarian dan penyelamatan, logistik dan peralatan, pengungsian dan perlindungan, sarana dan prasarana, ekonomi, dan pemulihan dini.

Narasumber yakni Staf Ahli Bidang Penanggulangan Kemiskinan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, Titi Eko, mengatakan bahwa laki-laki dan anak laki-laki juga bisa jadi korban KBG. Walau jarang tapi ini mungkin saja terjadi, jika mereka berada pada posisi yang lebih lemah.

“Jadi tidak hanya perempuan dan anak perempuan saja yang mengalami,” ungkap staf ahli Titi Eko.

Ia menambahkan bahwa 2 dari 3 anak perempuan Indonesia mengalami kekerasan tiap tahunnya menurut hasil survei Pengalaman Hidup Anak dan Remaja Tahun 2018.**

Sumber: Humpro Sulteng

Berita terkait