Menyoal Sistem PPDB Berbasis Zonasi

  • Whatsapp
banner 728x90

Reportase: Ikhsan Madjido


PENERIMAAN Siswa baru lewat sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sekolah
itu seharusnya sesuai dengan jenjang sekolah terdekat atau zonasi. Dan sudah  seharusnya memang seperti ini.

Pengamat pendidikan USAID, Sudarsono Saidi mengungkapkan banyak  hal yang perlu dipahami mengapa zonasi
diperlukan.

Menurutnya, sekolah favorit itu hanya ilusi, sebab sekolah yang
inputnya nilainya 4 kemudian ketika tamatnya menjadi nilai 9 itu baru hebat.

Persoalannya siswa yang selama ini masuk ke sekolah dikatakan sebagai
sekolah favorit karena siswanya memang sudah pintar dan bisa masuk sekolah ini.

“Pintarnya anak karena memang ‘anaknya yang pintar’ bukan sekolahnya
yang mengubah, maaf  ‘sampah menjadi
emas’,” kata Sudarsono Saidi, Senin (24/6/2019).

Dengan sistem zonasi, jelas Saidi, akan terbuka tabir betapa akan
banyak sekolah yang selama ini favorit mendapatkan input siswa yang sudah bagus,
akan kelabakan ketika harus menerima siswa yang memang kurang baik secara
nilai.

“Tiga tahun kedepan sekolah ini akan mendapatkan kualitas lulusan
aslinya. Jika input 4 menjadi output 9 itu baru hebat,” kata pengamat yang
hamper 10 tahun bertugas menangani pendidikan di pedalaman Papua ini.

Masih mau ngeyel zonasi ndak bagus?, Tanya Saidi lebih lanjut. Tingkat
sekolah sama, jumlah guru sama, lulusan guru juga sama, mata pelajaran yang
diajarkan sama.

“Nah sekarang kenapa kok sekolah tertentu bisa favorit?,” tukasnya
penuh tanya.

Sementara,
dilansir Murianews, kontroversi dan kisruh
tersaji pada ritual tahunan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di banyak
tempat. Mulai dari keluhan orangtua siswa mengenai ribetnya alur proses hingga
protes ketidakpuasan orangtua dilayangkan dalam bentuk demo.
Bahkan
jika ditilik setahun ke belakang, aksi penyanderaan Kepala Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan, penyegelan gedung sekolah, pemalsuan SKTM dan pindah KK,
demonstrasi, hilangnya etos siswa berprestasi karena nilai UN tidak menjadi
dasar PPDB, bahkan bunuh diri calon siswa karena kekhawatiran tidak diterima di
sekolah favorit mewarnai PPDB. Rangkaian peristiwa yang terjadi tersebut
mengindikasikan mendesak perlunya segera timbang ulang dan evaluasi sistem PPDB
berbasis zonasi.
Pada
rangkaian proses PPDB 2019 yang belum usai pun  akhirnya ‘terpaksa’
Kemendikbud merevisi Permendikbud Nomor 51/2018 yang sebelumnya sudah disahkan.
Peraturan terbaru dituangkan dalam Permendikbud Nomor 20/2019 tertanggal 21
Juni 2019.
Dalam
Permendikbud yang baru ini kuota yang semula minimal 90 persen jalur zonasi
diubah menjadi 80 persen, kuota jalur prestasi maksimal 5 persen menjadi 15
persen, dan tetap 5 persen untuk jalur pindah tugas orangtua. Meski demikian,
revisi aturan ini tidak menjamin bahwa berbagai kasus dan kontroversi serupa
tidak terulang lagi.
Mari
sejenak kita kuliti niat baik pemerintah tentang sistem zonasi. Tentulah setiap
kebijakan pendidikan, termasuk diberlakukannya sistem PPDB berbasis zonasi
memiliki kelebihan dan kekurangan. Rintisan sistem PPDB berbasis zonasi yang
mulanya diadaptasi dari Jepang, sebetulnya pemerintah ingin menyampaikan sebuah
pesan positif menanamkan nilai-nilai karakter sejak dini. Di Jepang sendiri,
lewat sistem zonasi siswa lebih diarahkan untuk belajar berteman baik dan kerja
sama bukan bersaing, berjalan kaki ke sekolah dan tanpa diantar-jemput
orangtua, dan kemacetan lalu lintas tidak terjadi.
Sementara
itu sistem zonasi di Indonesia, pemerintah memiliki kewajiban untuk menyamakan
dan meratakan mutu kualitas pendidikan, sehingga harus ada kesetaraan kewajiban
untuk sekolah-sekolah negeri milik pemerintah dalam menerima siswa baru dengan
basis utama jarak rumah-sekolah. Nantinya kualitas siswa yang diterima akan
terdistribusi merata, bibit siswa dengan nilai rendah hingga tinggi tidak
terakumulasi di satu sekolah tertentu.
Dengan
begitu maka pemerintah berharap tidak akan ada lagi pelabelan sekolah favorit
dan sekolah tidak favorit. Selama ini sekolah favorit identik sebagai sekolah
dengan kemampuan akademik tinggi, bermotivasi tinggi, ekonomi berkecukupan dari
para siswanya.
Selain
itu, guna pemerataan akses layanan dan kualitas pendidikan sehingga tidak ada
ketimpangan di kota maupun daerah. Sistem zonasi juga dimaksudkan membuat siswa
lebih ‘sosialis’ tanpa hadirnya sistem kasta dalam interaksi dengan temannya
yang beragam latar belakang dan kemampuan akademik. Aspek kesetaraan dan
berkeadilan ini sesuai dengan ciri layanan publik milik pemerintah yang tidak
boleh dikhususkan untuk kelompok/golongan tertentu saja (non-excludable),
tidak boleh dikompetisikan berlebihan (non-rivarly), dan tidak boleh ada
praktik diskriminatif (non- discrimination).
Niat baik
pemerintah memproduksi layanan publik ini tidak diimbangi dengan prasyarat yang
harusnya telah mampu dipenuhi pemerintah sebelum aturan penerapan sistem zonasi
diketok palu. Hal ini menjadi landasan mendasar yang sangat penting mengingat
kebijakan ini sebagai kebijakan yang bersifat nasional. Sementara fakta masih
adanya ketimpangan kualitas-kuantitas pendidikan di berbagai wilayah Indonesia
tidak dapat dipungkiri oleh pemerintah.
Pemerintah
telah jauh hari menerangkan konsep Standar Nasional Pendidikan (SNP). SNP
merupakan delapan kriteria atau standar minimal terkait pelaksanaan sistem
pendidikan yang ada di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Kedepalan
standar tersebut yakni standar isi, standar kompetensi lulusan, standar proses,
standar  sarana prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan,
standar penilaian, dan standar pendidik dan tenaga kependidikan (PTK).
Menurut penulis,
kedelapan standar ini dapat dijadikan acuan atau landasan pemerintah dalam
setiap kegiatan baik perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan demi
mewujudkan pendidikan nasional yang berkualitas. Tentu menjadi bahan renungan
bersama, pemerintah dan masyarakat.
Sudahkah
kedelapan standar ini telah dijalankan sebagaimana mestinya di semua sekolah
negeri milik pemerintah?. Apakah kualitas-kuantitas guru di sekolah negeri
sudah setara di semua zona?.  Apakah ketersediaan sarana prasana dan
pengelolaan sekolah yang baik sudah merata baik di kota maupun daerah?.
Beberapa pertanyaan pendahuluan ini menjadi penting dijawab karena erat betul
kaitannya dengan sistem zonasi.
Pemerataan
kualitas sekolah dan kualitas pendidikan tentulah tidak dapat dimaknai terbatas
secara parsial hanya pada aspek input siswanya saja. Hakikat pemerataan
kualitas harus menyentuh seluruh komponen terlebih termasuk guru dan fasilitas
(sarana prasarana).
Rotasi
guru di dalam sistem zonasi menjadi keniscayaan yang harus dijalankan sesuai
amanat Undang-Undang. Menurut penulis jika prasyarat dasar pemenuhan delapan
standar belum mampu dipenuhi pemerintah, sedangkan sistem zonasi tetap dipaksa
dijalankan maka mutu pendidikan akan tetap tidak merata karena sistem zonasi
tidak maksimal.
Berkaca
dari berbagai kontroversi dan kekacauan yang terjadi, maka sudah selayaknya
pemerintah menimbang ulang dan mengevaluasi sistem PPDB berbasis zonasi.
Pemerintah juga perlu mematangkan konsep dan persiapan yang lebih mantap apakah
pemerintah telah siap  betul memberlakukan zonasi, serta mempertimbangkan
dampak positif-negatifnya jika memang zonasi tetap dipaksakan berlaku.
Tanpa itu
semua, niat baik pemerintah lewat tangan Kemendikbud tentang PPDB sistem zonasi
hanya akan menjadi mimpi buruk bagi siswa dan orangtua siswa, bahkan akan
menambah sengkarut kekacauan pendidikan nasional.**

Berita terkait