Reportase: Andono wibisono
JELANG Setahun musibah bencana alam 28 September 2018 lalu di wilayah Padagimo – Palu, Sigi, Kabupaten Donggala dan sebagian Kabupaten Parigi Moutong, anggota DPR RI Dapil Sulteng, Ahmad H Ali mendesak pemerintah RI segera memberikan bailout (bantuan keuangan atau penyelamatan kepada perusahaan atau bank tertanggung yang mengalami kesulitan.red) kepada para usahawan yang terdampak di Padagimo.
Desakan itu tidak lain dia lontarkan terkait dengan rencana pemindahan ibu kota Indonesia ke Pulau Kalimantan untuk memulihkan kegiatan usahawan di Padagimo agar roda ekonomi kembali tumbuh dan bergerak. ‘’Kita tidak bisa memulihkan kegiatan usaha di Pasigala dengan kacamata “wait and see”, atau berdasarkan tahapan, sebab nomenklatur sudah jelas, rehab rekon kembali ke logika belanja modal dan belanja pegawai,” ujar Ahmad Ali.
Menurut Ahmad Ali, stakeholder yang diharapkan mempercepat pemulihan ekonomi hanyalah para usahawan yang bisa dengan cepat mendorong gerak roda produktivitas. Sementara kata dia, para usahawan di Pasigala saat ini terhambat oleh masalah kredit.
Apalagi kata dia, metode relaksasi atau penundaan pembayaran kredit adalah kebijakan yang dikeluarkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang bersifat solusi sementara bagi debitur sambil evaluasi usulan kebijakan pemutihan hutang.
Sebab kata dia, setelah relaksasi pada akhirnya para usahawan akan menghadapi tanggungan kredit yang sama setelah kebijakan penundaan atau relaksasi berakhir. Karena kepastian penghapusan kredit debitur kata dia, belum terjadwalkan.
‘’Usahawan tidak bisa menunggu seperti logika tahapan tetapi mereka butuh modal untuk menggerakan usaha dan membangun kembali perekonomian,’’ pungkasnya.
Ahmad Ali berharap pemerintah pusat segera melakukan bailout kredit usahawan atau memberikan garansi kredit baru bagi usahawan. Sebab, pemulihan usaha di Padagimo sangat menentukan posisi strategis Sulteng dalam perspektif pemindahan ibu kota negara. Ahmad melihat lambannya proses pemulihan ekonomi di Padagimo ini karena kurangnya akses dan ruang partisipasi sektor swasta yang berisi para usahawan.
“Sampai hari ini masalah masih berputar-putar di tempat, masalah Huntara, data dan sebagainya. Tidak bisa logika begini dipertahankan, harus ada aspek lain yang diakselerasi, dan itu tentu saja kita butuhkan peran serta sektor swasta,” katanya. Namun sekali lagi bagaimana sektor swasta bisa berkembang kalau Huntara belum dibayar, kredit yang belum jelas, dan akses permodalan yang juga terbatas.**