Fania Dwi Maharani menjaga tradisi Karate Sulteng diajang Kejurnas Karate selama empat tahun yang selalu pulang membawa medali. Pegawai keuangan Rektorat Untad Palu ini meraih medali perunggu dikelas -55 kg puteri Kejurnas Karate Pra Pon yang berlangsung di Jakarta.
Namun tidak banyak yang tahu jika keberhasilannya ini merupakan pembalasan dendam diajang serupa empat tahun lalu. Ketika itu Rani menerima panggilan akrabnya, bersama seorang rekannya gagal di Kejurnas Pra Pon yang berlangsung di Medan 25-27 Oktober 2015. Rani hanya bisa menangis saat dirinya tidak bisa masuk 12 besar terbaik karateka yang bisa berlaga di PON Jakarta 2016.
Darah karate yang mengalir dari sang ayah membuatnya tidak larut dalam kesedihan yang berkepanjangan. Niat untuk bisa berlaga di arena PON 2020 membuatnya terus berlatih disela-sela kewajibannya sebagai pegawai rektorat Untad Palu.
Selama tiga tahun Rani rajin mengikuti kejuaraan baik lokal maupun nasional. Ketika akhirnya namanya dipanggil Christo Mondolu sebagai kepala pelatih tim Pra Pon Sulteng 2019, keinginan membuktikan dirinya layak bertanding diarena PON semakin kuat.
Latihan pagi dan sore selama tiga bulan dipelatda terpusat Doujou MSH KKI di Maesa dijalani, bahkan dirinya sering beratih sendiri diluar jam yang dibuat tom pelatih.
“Karena saya sadar betul ini kesempatan terakhir saya. Apalagi Pra Pon kali ini lebih berat, hanya 8 terbaik yang lolos, beda dengan di Medan empat tahun lalu 12 terbaik yang lolos,” katanya usai pengalungan medali.
Dalam undian yang dikeluarkan panitia kejurnas, Rani harus berjuang dari paling bawah dibabak 32 besar. Namun Rani membuktikan kalau dirinya menjadi ancaman serius peserta kejuaraan kai ini. Sampai babak 4 besar semua lawannya dikalahkan dengan selisih rata rata 5 point.
Dibabak semifinal Rani bertemu karateka Indonesia dengan prestasi Internasional dari Bali, Cokorda Isti Agung. Namun Rani tidak gentar, bahkan Rani memperoleh Senshu atau keuntungan karena meraih point pertama. Lewat pertandingan yang berangsung ketat, Rani akhirnya kalah dan hanya meraih posisi ketiga atau medali perunggu.
Tangis Rani pecah ketika dirinya baru menyadari meski dikalahkan Cokorda tetap lolos ke PON Papua. Tangis yang berbeda dengan tangis empat tahun lalu, kali ini tangis kebahagiaan karena ‘dendam’nya terjawab tuntas.
“Terima kasih ya ALLAH, terima kasih sensei, terima kasih senpay, terima kasih pengurus Forki Sulteng,” katanya sambil mengudap airmata dan memeluk seluruh kontingen karate Sulawesi Tengah.
Reporter: andono wibisono