Palu,- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Tengah (Sulteng) mendesak Pemerintah Provinsi (Pemprov), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sulteng, Pemerintah Kota Palu dan DPRD Kota Palu untuk menghentikan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Tengah dan RTRW Kota Palu sebab kedua Ranperda RTRW tersebut menjadi ancaman bagi ruang penghidupan nelayan Teluk Palu. Demikian pernyataan Direkrur Eksekutif WALHI Sulawesi Tengah Abdul Haris Lapabira dalam siaran persnya hari ini Rabu (29/01/2020).
Pernyataan tersebut bukan tidak beralasan, dari hasil pertemuan yang digagas WALHI Sulteng, Sulteng Bergerak bersama komunitas nelayan Teluk Palu pada Desember 2019 lalu menyimpulkan bahwa dalam penetapan Zona Rawan Bencana Tsunami yang akan ditetapkan sebagai zona merah dalam RTRW Kota Palu dan Provinsi tidak melibatkan partisipasi dari komunitas nelayan Teluk Palu.
Bahkan di masa rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana ini pemerintah Kota Palu selalu mengarahkan untuk merelokasi komunitas nelayan ke lokasi hunian tetap yang jauh dari wilayah pesisir yang merupakan sumber penghidupan dari komunitas nelayan.
Dalam diskusi komunitas nelayan pada 14 Desember 2019 di Kelurahan Panau Kecamatan Tawaeli Ketua RW 4 Kelurahan Panau Murna Dali, BA menyatakan penolakannya atas Peta Pola Ruang Kota Palu yang akan menetapkan wilayah pemukiman nelayan di Kelurahan Panau masuk dalam zona merah.
“Kalau zona merah telah ditetapkan, itu artinya melarang nelayan bermukim di wilayah dekat pantai. Kalau pemukiman nelayan digeser jauh dari pantai kemana warga nelayan akan tinggal?
Sementara tanah-tanah yang berjarak 100 meter dari pantai itu juga sudah ada pemiliknya. Sumber penghidupan kami sebagai nelayan ada diwilayah pesisir, jadi jika kami direlokasi itu sama saja mengusir nelayan dari sumber penghidupannya” keluh Murna Dali.
Senada dengan Murna Dali, salah seorang warga Kelurahan Panau Jais Tunalele juga mengeluhkan dana stimulan yang belum juga diserahkan oleh pemerintah Kota Palu. Padahal sebelum penetapan zona merah, rumah miliknya yang mengalami rusak berat telah didata sehingga saat itu telah diidentifikasi sebagai penerima dana stimulan. Namun setelah beberapa kali verifikasi yang dilakukan oleh BNPB dan BPBD Kota Palu, dana stimulan tak kunjung dicairkan karena lokasi pembangunan rumahnya berada dalam wilayah zona merah rawan tsunami.
Salah seorang penyintas asal Kelurahan Kayumalue Pajeko Wiratno juga menyatakan penolakannya terhadap rencana pemerintah Kota Palu untuk merelokasi warga komunitas nelayan.
“Hidup kami ada di pesisir dan laut, jadi sulit bagi kami untuk menerima jika kami direlokasi ketempat yang jauh dari laut. Karena itu kami menyatakan dengan tegas menolak untuk direlokasi ke hunian tetap yang dibangun pemerintah. Yang kami butuhkan itu dana stimulan, bukan relokasi atau huntap” tegas Wiratno.
Menurut Abdul Haris Lapabira pemerintah seharusnya membuat penyusunan RTRW ini dari bawah. Suara-suara warga harus didengarkan, warga diajak untuk mendiskusikan bersama kebutuhan dan keinginan mereka. Tidak bisa hanya mendengarkan kebutuhan korporasi atau perusahaan dalam proses penyusunannya.
Karena itu WALHI Sulteng meminta agar pemerintah memfokuskan diri untuk membuat rencana kontinjensi, meningkatkan kapasitas dan pengetahuan warga tentang kebencanaan dan memperjelas jalur dan ruang evakuasi serta membangun sistem peringatan dini secara partisipatif bersama masyarakat termasuk membangun kembali ekosistem mangrove sebagai benteng perlindungan dari ancaman bencana tsunami. ***
Sumber/Reporter: Walhi Sulteng/Arman seli