PUNCAK atau episentrum covid 19 di Provinsi Sulawesi Tengah secara sosial barometernya pasti Kota Palu. Pola, strategi serta perumusan kebijakan yang tepat dan mendasar secara sosial kemasyarakatan melawan virus korona harus tepat. Terutama bagi masyarakat Kota Palu yang kini kembali didera ‘godam’ cobaan maha dahsyat setelah sebelumnya dihempas oleh bencana alam bersamaan – 28 September 2018 lalu.
1,6 tahun lalu seluruh aspek sosial di Palu hancur. Orang kesulitan air, makanan dan pakaian. Hari hari itu dijalani dengan ketidakpastian. Bencana alam itu seketika. Karena seketika, shock sosial dirasakan bersamaan. Karena bencana alam bantuan pun tak lama datang. Kesetiawanan sosial daerah dan negara tanpa diminta. Walau sebenarnya hingga kini dampak bencana masih dirasakan bahkan menjelang dua kali puasa dan lebaran masih tinggal di tenda atau Huntara.
Sekarang, kembali warga Kota Palu diperhadapkan dan diuji dengan bencana non alam. Petunjuknya harus berjarak. Atau asosial dulu. Stay di rumah. Karena pandemi ini mudah menular dan berbahaya. Sekarang sudah 4 positif di Palu. Palu menjadi ukuran. Lantas apa kebijakan Wali Kota sebagai pemimpin kota?
Izinkan saya sebagai alumni pendidikan sosial di negeri ini memberikan saran dan kontribusi pada kota ini yang menjadi kehidupan separoh umur saya jalani. Tabe ki Pak Wali berikut saran tindak ke kita.
Pertama; saya yakin data orang miskin di Dinsos Palu ada. Bahkan peta prediksi dampak covid 19 akan banyak orang menjadi katagori miskin sudah diperkirakan. Dari sinilah Pak Wali dengan Kadis Sosial bergerak.
Kedua; ajak Ketua DPRD Palu dinda Ikhsan Kalbi duduk bersama. Refocusing semua APBD. Arahkan pada upaya stimulan dan jaring sosial. Hitung angkanya. Tetapkan dan eksekusi. Gunakan Diskresi.
Tabe pak Wali. Misalnya; ada 40 ribu Kepala Keluarga (KK) tak mampu diberi bantuan tunai langsung Rp 250 ribu/KK/bulan maka APBD yang perlu disiapkan sebanyak 30 miliar rupiah untuk tiga bulan. Artinya; 40 ribu KK x 250 ribu x bulan = 10 miliar rupiah. Bila tiga bulan dibutuhkan Rp30 miliar.
Mengapa 40 ribu dijadikan misal? Saya merujuk pada data warga Palu yang terpapar bencana 28 September 2018 lalu diperkirakan ada 40 ribuan yang hidup di tenda – tenda dan Huntara.
Anggap saja mereka ini (40 ribuan KK) itu juga yang terdampak virus korona. Kesepakatan menetapkan jumlah warga miskin kota juga sebaiknya ditetapkan bersama DPRD atau disetujui dewan.
Dana 30 miliar rupiah itu di APBD 2020 mudah dicari. Ikuti langkah Gubernur Sulteng Longki Djanggola dan Ketua DPRD Sulteng yang berani memangkas anggaran perjalanan dinas (Perjadis) dan kegiatan kegiatan Diklat, Mamin dan sejenisnya. Saya yakin, Pak Wali memahami usulan ini.
Rp. 30 miliar dialihakn untuk warga Palu yang akan ‘perang’ melawan Korona akan menjadi sebuah stimulan daerah yang patut diikuti kabupaten penyangga lainnya. Bila tingkat ketahanan keluarga baik, bantuan lainnya tepat sasaran dan stimulan dari pemerintah pusat juga seperti listrik gratis dan penangguhan kredit juga jalan, dapat dipastikan Kota Palu dapat meredam dampak perluasan penularan Covid 19.
Rp. 30 miliar jaring sosial selama tiga bulan pasti mudah mencarinya di APBD 2020 apabila semua mendukung kebijakan Pak Wali. Berapa anggaran Perjadis Triwulan II? Berapa anggaran barang dan jasa? Berapa Mamin dan Diklat sejenisnya dan belanja belanja lainnya yang sekiranya direfocusing tidak memberikan dampak sosial sebagaimana bila warga Palu tanpa jaminan sosial atau pengaman sosial tiga bulan mendatang?
Dalam ilmu sosial, makin sulit atau gak berkesempatan untuk hidup atau berkehidupan, maka semakin asosial seseorang. Dampak ikutannya; tingkat kriminalitas tinggi, tingkat kepatuhan pada norma dan moral makin rendah, apatis dan masa bodoh, selalu apriori pada pemerintah karena dinilai tidak berpihak pada kelompoknya dan seterusnya. Bila potret potret itu dalam tiga bulan itu tidak kita coba hapus maka upaya memerangi Covid 19 juga semakin berat. Berat pada Pak Wali, makin berat juga dirasakan warga kota yang kini bagai jatuh tertimpa tangga bencana alam dan non alam yang berselisih 1,6 tahun saja. Istilahnya belum KUAT sudah ditambah lagi wabah.
Demikian saran dan masukan sebagai warga kota. Kota yang banyak memberikan kontribusi pada separuh kehidupan dan persahabatan selama ini. Tabe wassalam. (Penulis mantan kepala dinas sosial Sulteng dan alumni sekolah tinggi ilmu sosial di Bandung). ***
Oleh: Drs Andi Azikin Suyuti MSi