Covid-19: Prediksi; Puncak Pandemik Palu Pasca Lebaran

  • Whatsapp
Foto: aceh.antaranews.com/ist

Palu,– Sikap Wakil Ketua DPRD Sulawesi Tengah, Muharram Nurdin yang tidak sependapat bila Kota Palu diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), https://kailipost.com/2020/05/covid-19-waket-dprd-tak-setuju-palu-psbb.html, ditanggapi sejumlah praktisi kesehatan dan praktisi sosial di Sulteng Senin (4/5/2020) di Palu.

Berikut beberapa praktisi kesehatan (dokter dan perawat) mengirimkan komentarnya ke redaksi kailipost.com ;

Menurut para medis, teori dasar kesehatan seseorang adalah prilaku sehat baik asupan gizi dan lingkungan. Salah satu prilaku sehat yaitu mentaati aturan sosial, budaya dan aturan lingkungan sekitar. Termasuk interaksi sosial. ‘’Teori dasarnya hidup sehat demikian. Makana diatur dan hidup sehat secara sosial. Kalau diatur saja sulit untuk jaga jarak, physical distancing, masih suka di tempat keramaian ya potensi tidak sehat akan besar. Termasuk potensi terpapar virus,’’ ujar salah satu dokter umum di Palu yang enggan disebutkan namanya karena menjaga berpolemik dengan politisi.

Kedua; Prilaku hidup sehat dalam situasi wabah atau pandemik juga ditentukan sejauh mana perhatian pemerintah di daerah. Terlebih saat ini adalah otonomi daerah. Artinya; bagaimana sikap Pemda kabupaten/kota menyikapi dan memutuskan sebuah kebijakan dengan cepat, tepat dan terukur. ‘’Jangan hanya dilihat yang di permukaan. Kita tidak mendata yang potensial, yang berinteraksi bahkan yang tinggal bersama. Sebelumnya dengan pasien positif. Semisal; OTG. OTG memiliki potensi virus tapi karena imunitasnya bagus sehingga tidak menampakkan gejala. Ini banyak di Palu,’’ terangnya.

Menurut salah seorang tenaga medis di rumah sakit rujukan Covid 19 di Palu mengaku bahawa jumlah tenaga medis dan para medis di Palu sangat kurang untuk menangani wabah bila nantinya akan ‘bomming’ Mengapa? Karena jumlah dan kualitas sumber daya medis masih belum memadai. ‘’Kita berdoa jangan sampai ada tenaga medis dan para medis yang terpapar virus. Kan sudah ada kejadian di Anutapura perawatnya tes awal positif tapi tes kedua sudah negatif. Itu karena saat itu APD masih minim dan protokol penanganan belum dipahami benar,’’ terangnya.

Kembali pada kebijakan Pemda kabupaten/kota, sang dokter umum itu menyangsikan Wali Kota dan Bupati Donggala dan kabupaten lainnya seperti Buol berani mengambil langkah PSBB. ‘’Ya saya tidak tau mengapa. Tapi saya yakin pasti tidak akan mengambil (kebijakan) PSBB. Tapi anehnya penanganannya juga tidak jelas seperti apa? Sekarang kan sifatnya menunggu. Nanti ada kasus baru ditracking dan ditangani. Fase pencegahan secara jelas tidak nampak,’’ tandasnya.

Bagaimana bila rapid test massal? ‘’Bagus itu. Rapid test dilakukan di tempat tempat umum. Pasar, mal dan warung kopi misalnya. Karena dengan rapid test massal akan mendapat peta dan zona. Kita mudah melakukan tracking data pasien. Siapa, dari mana, alamatnya dimana dan wilayah mana. Setelah di tracking kita mudah menentukan cluster – cluster. Pertanyaannya apakah siap jumlah besar rapid test di Palu?,’’ jelas dokter tersebut.

Fakta ia temui, ada pasiennya yang sangat kesulitan melakukan rapid test. Awalnya, hasil rongsen pasiennya ada plumonia di paru-paru. Ia sarankan untuk rapid test saja di Puskesmas agar mudah dan cepat. Ketika akan rapid test kedua (10 hari dari test awal), ia kaget dilapori pasiennya bahwa alat rapid test hanya diutamakan bagi yang test pertama. Tidak diketahui bagaiman dengan test yang kedua. ‘’Padahal protokolnya harus dua kali rapid test untuk menentukan apakah pasien terpapar, berpotensi atau tidak virus covid. Alasan Puskesmas itu sudah demikian karena minimnya rapid test. Ini bahaya sekali,’’ terangnya.

Apakah tidak bias rapid test mandiri? Dijawab sang dokter, ‘’Bisa asal keluarkan uang sendiri. Satu kali test enam ratus ribu rupiah. Ya dua kali sudah satu juta dua ratus. Pertanyaannya, apakah orang dan warga Palu sanggup semua? Bagaimana dengan penyintas?,’’ tandasnya. Pernyataan dokter muda ini dibenarkan pengamat sosial Univesitas Tadulako, Andi Idhamsyah. Menurutnya, jalan mudah dan murah adalah PSBB. Interaksi dibatasi dan aturan ditegakkan. ‘’Pemda mau tidak menjamin pasokan makanan wargnya. Terus terang Makaassar saja kalua kita belajar dari pemberlakuan PSBB di sana juga masih sangat tidak sukses. Dominan mamsyarakat kita masih sulit tertib, teratur dan memiliki kesadaran bersama soal wabah. Kita harus memilih, PSBB atau rapid test massal. Di depan ada lebaran. Kebiasaan saling silaturahim anjang sana dari rumah ke rumah sudah menjadi budaya di Palu. Kalua tidak ya saya setuju pasca lebaran puncak pandeminya,’’ tandasnya. ***

reportase: andono wibisono

Berita terkait