Palu,- Meski saat ini ada upaya sekelompok warga untuk menggagalkan pembangunan Hunian Tetap (Huntap), di lahan III Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore. Hal tersebut tidak menghentikan pihak Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk melanjutkan pembangunan.
Satgas PUPR, melalui kepala Balai PPW Sulteng, Ir Ferdinan Kana mengatakan, pembangunan Huntap tersebut bertujuan untuk membantu Pemkot Palu dalam menyiapkan hunian tetap bagi warga terdampak yang ada di zona merah.
Pembangunan huntap, sebut Ir Ferdinan, adalah sebagai amanah undang-undang penanganan darurat bencana alam dan impres pemulihan pasca bencana Sulteng.
“PUPR akan bangun kalau ada lahan-lahan yang disiapkan oleh pemerintah daerah dengan 2 skema, yaitu pertama pengadaan lahan oleh Pemkot dengan cara pemkot membeli tanah untuk lokasi huntap dan yang kedua skema penyiapan lahan dengan menggunakan tanah negara,” ujarnya, Rabu (22/07).
Ir Ferdinan melanjutkan, lokasi di Tondo-Talise adalah lahan tanah negara ex HGB, makanya diserahkan oleh BPN/ATR ke PUPR dan BNPB.
Maka, kata dia, kalau ada keinginan segelintir warga yang selama ini sudah dilakukan persuasif dan dialog, termasuk dilakukan Forkopinda Kota Palu yang berakhir gagal karena tuntutan segelintir warga Talise, bahwa tanah negara diberikan pada mereka, karena mereka tidak punya tanah dan PUPR diminta pindah ke lokasi lain.
“Apa lagi sangat disayangkan, hari ini didukung oleh DPRD Kota, dengan bersurat ke Walikota untuk menghentikan sementara tanpa batas waktu. Maka, kami tunggu surat Wali Kota untuk Perintahkan Satgas PUPR menghentikan pekerjaan huntap di atas tanah yang telah disiapkan oleh negara melalui BPN/ATR,” ungkapnya.
Olehnya, yang perlu diingat, lanjutnya, menghalang-halangi dan menghambat kegiatan rehab untuk penyiapan hunian bagi ribuan warga yang terdampak di Kota Palu, itu bisa dipidanakan sesuai undang-undang no 24 tahun 2017 pasal 50.
“Yang menyebutkan, setiap orang yang sengaja menghambat kemudahan akses rehab rekon dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun atau paling lama enam tahun dan denda paling sedikit Rp 2 miliar atau paling banyak Rp 4 miliar,” imbuhnya
“Selain melanggar undang-undang, hal tersebut juga tidak mematuhi inpres nomor 10 tahun 2018, tentang percepatan rehab rekon sulteng,” tutupnya. ***
Reporter: Yohanes Clemens