KDRT dan Perkawinan Anak Banyak Dialami Penyintas Pasigala

  • Whatsapp

Palu,- Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah (KPKP-ST) mencatat retang waktu sejak 2018-2019 banyak praktek Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan Perkawinan Anak yang terjadi pada warga penyintas di Palu, Sigi dan Donggala (Pasigala) saat tinggal di tenda pengungsian pasca bencana alam 28 September 2018.

KPKP-ST merilis data di 6 titik Cam pengungsian kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan banyak terjadi diakibatkan kondisi tenda pengungsian yang tidak layak dari barbagai hal, seperti Toilet yang gelap, Toilet yang tercampur antara perempuan dan laki-laki, tenda-tenda yang tipis serta kecil sehingga tidak ada sekat untuk ruang privasi, tenda yang harus di huni lebih dari satu Keluarga, Cam yang gelap, jarak toilet dengan tenda pengungsian yang jauh, dan fasilitas keamanan tidak tersedia. Kondisi ini pun memicu terjadi upaya tindakan pemerkosaan.

Seperti kasus yang diterima oleh KPKP-ST yang dilaporkan melalui Tenda Ramah Perempuan (TRP), telah terjadi upaya pemerkosaan kepada seorang anak perempuan saat akan buang air kecil di Toilet tenda Pengungsian yang berada diarea Masjid Agung Palu. TRP adalah bentukan KPKP-ST yang berada di 6 titik Cam Pengungsian khusus untuk menerima laporan atas tindakan kejahatan yang dialami perempuan Penyintas.

Menurut Ketua Yayasan KPKP-ST, Soraya, kondisi Camp Pengungsian yang gelap dan cukup berjarak dari tenda penyintas menjadi peluang para pelaku untuk melakukan kejahatan. Namun, kasus tersebut didiamkan oleh orang tua karena pertimbangan kondisi piskis dan rasa takut korban apabila masalahnya di tindaklanjuti sampai di Kepolisian.

KPKP-ST memprediksi masih banyak tindakan kekerasan berbasis gender baik pada perempuan dan anak perempuan yang tidak terungkap sejak tahun 2018 hingga saat ini.

Bahkan, berpindahnya penyintas dari Camp pengungsian ke Hunian Sementara (Huntara) tidak menghilangkan ataupun mengurangi tindakan kekerasan berbasis Gender. Hal ini akubat kondisi Huntara yang tidak memiliki standar pengamanan bagi para penghuninya menyebabkan orang asing bebas keluar masuk area Huntara sehingga menganggu kenyamanan.

Selain itu, banyaknya Huntara yang tidak ditempati sangat rawan digunakan sebagai tempat kumpul yang pada akhirnya menjadi tempat melakukan berbagai hal negatif seperti Narkoba, Isap Lem Fox, berpacaran bahkan ada kasus perselingkuhan di Huntara kosong tersebut.

“Disamping itu, desain Huntara yang tanpa sekat didalamnya, akhirnya menyebabkan terjadi tindakan pelecehan seksual, Incet (hubungan seksual dilakukan antar saudara kandung), hingga pemerkosaan,” jelas Soraya, dalam keterangan pers laporan tahunan dua tahun pasca bencana, di Kantor KPKP-ST jalan Jambu, Kota Palu, Jum’at (08/01/2021).

Pascq berpindahnya penyintas ke Huntara justru terjadi peningkatan laporan kasus Perkawinan Anak. KPKP-ST mencatat sejak November 2018 sanpai Oktober 2019 ada 43 kasus perkawinan anak. Data ini berdasarkan aduan yang diterima oleh relawan tergabung dalam di 6 Ruang Ramah Perempuan (RRP) dan 2 Posko Pengaduan Desa (PPD).

Diketahui, sejak 2019 pasca penyintas berpindah ke Huntara, KPKP-ST juga memindahkan TRP yang semula berada di Camp Pengungsian ditempatkan ke tempat Huntara dan berganti nama menjadi Ruang Ramah Perempuan (RRP).

KPKP-ST pun memprediksi angka ini akan jauh lebih besar mengingat jumlah titik Huntara yang tersebar di tiga Kabupaten sebanyak 48 titik dengan rincian, Kota Palu 21 titik Huntara, Kabupaten Sigi 18 titik, dan Kabupaten Donggala 9 titik.

Temuan KPKP-ST atas kasus perkawinan anak didominasi hamil diluar nikah. Hal ini dilatar belakangi, antara lain kontrol orang tua yang lemah saat tinggal di Camp atau Huntara, rata-rata melakukan hubungan seksual di atas 5 kali dan hubungan seks karena suka sama suka ditambah adanya kesempatan.

KPKP-ST menemukan faktor penyebab tingginya angka perkawinan anak pasca bencana antara lain akibat ; Ketidakadilan Gender (Anak Perempuan di nikahkan sehingga beba orang tua menjadi lebih ringan), Kemiskinan (terganggunya Sumber Ekonomi, hilangnya akses terhadap Sumber Mata Pencarian, Kehilangan tempat tinggal, dan harta benda lain yang bisa menjadi modal ekonomi keluarga),

Kemudian, Lost kontrol Orang tua akibat konsen Orang Tua bertumpu pada hal utama, menyambung hidup keluarga, fokus pada mencari nafkah alternatif, Fasilitas di Camp Pengungsian/Huntara (Penerangan yang terbatas, Toilet yang tdk terpisah, Huntara yang sempit dan tak bersekat, sistem keamanan yang tidak terjamin, faktor Narkoba, serta Tidak adanya pengetahuan atau informasi yang memadai tentang Pendidikan Seks. Akibatnya anak bersangkutan terpaksa DO Sekolah dan harus bekerja, berpikir lebih dewasa.***

Reporter: Supardi

Berita terkait