JAKARTA,- Komoditas nikel kembali mendapatkan angin segar, Salah satunya datang dari China yang akan melonggarkan kebijakan penanganan Covid-19.
Analis BRI Danareksa Sekuritas Hasan Barakwan mengatakan, Jumat lalu, China memutuskan mengurangi jangka waktu karantina untuk pelancong internasional selama dua hari. Alih-alih membuat pelancong tinggal di fasilitas karantina selama tujuh hari setelah tiba, China menetapkan aturan baru karantina hanya selama lima hari.
Menurut Hasan, relaksasi ini dinilai penting karena China menyumbang sekitar 50% dari permintaan logam dasar. Selain itu, kondisi keseimbangan pasar nikel saat ini mencerminkan kondisi China yang bergelut dengan kebijakan Covid-19, yang membuat pasar perumahan dan konstruksi domestik di negara tersebut mengalami kontraksi.
Tentu, ini menjadi angin segar bagi harga nikel. Pembukaan kembali perekonomian China akan berdampak signifikan bagi pasar baja nirkarat dan juga nikel. Hasan menyebut, produksi baja nirkarat masih menyumbang 70% dari konsumsi nikel secara keseluruhan.
Buktinya, sentimen positif ini mampu membantu mendongkrak harga nikel di London Metal Exchange (LME) yang naik lebih dari 5% pada Jumat lalu. Sentimen positif ini juga merambah ke harga saham emiten produsen nikel di bawah cakupan BRI Danareksa Sekuritas, seperti PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) dan PT Vale Indonesia Tbk (INCO).
Dus, BRI Danareksa Sekuritas meyakini harga nikel akan tetap solid di sisa waktu kuartal keempat 2022. Hasan menaikkan proyeksi harga nikel untuk 2022-2023 menjadi masiing-masing US$ 26.000 per ton dan US$ 21.000 per ton dari sebelumnya di level US$ 21.000 per ton dan US$ 17.000 per ton.
Kinerja kuartal IV akan solid
Analis Panin Sekuritas Felix Darmawan juga menilai, sentimen positif bagi nikel berasal dari China seiring adanya spekulasi pelonggaran restriksi sosial. “Untuk proyeksi kami sendiri di harga nikel kisarannya di US$ 22.000 sampai US$ 25.000 per ton,” kata Felix.
Proyeksi harga nikel yang solid akan berdampak bagi kinerja emiten penambang nikel. Menurut Felix, perolehan laba emiten pada kuartal keempat akan dapat sedikit membaik. Kemungkinan akan ada sedikit penurunan beban produksi karena terdapat penurunan harga bahan bakar. Sebelumnya, sejumlah emiten nikel seperti INCO membukukan penurunan kinerja secara kuartalan akibat melemahnya harga jual rerata di kuartal ketiga.
Senada, Hasan juga berekspektasi adanya pemulihan laba bersih penambang nikel pada kuartal berikutnya mengingat rendahnya realisasi laba bersih emiten di kuartal ketiga 2022 sebagai akibat dari rendahnya harga nikel. Ditambah, biaya tunai juga mengalami lonjakan akibat dari melonjaknya harga batubara di periode tersebut.
Dalam kondisi ini, Hasan cenderung menyukai penambang nikel dengan harga jual rata-rata alias average selling price (ASP) yang mengacu pada LME seperti INCO. Ini karena sentimen harga nikel LME cenderung bereaksi lebih cepat daripada harga nickel pig iron (NPI).
Namun demikian, dia juga meyakini harga NPI akan menyesuaikan dengan harga LME karena ekspektasi pemulihan konsumsi baja anti karat dari China. Hasan menyematkan rating overweight terhadap sektor nikel.
“Kami melihat lockdown di China telah direlaksasi dan kami meyakini akan ada pemulihan dalam hal volume penjualan di kuartal keempat 2022 sebagai hasil normalisasi aktivitas di China,” kata Hasan, Senin (14/11).
Saham PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) dan INCO menjadi saham pilihan utama alias top pick di sektor ini. MDKA merupakan pemain di segmen nikel dan tembaga, sementara INCO menjadi perusahaan yang paling sensitif terhadap perubahan harga nikel.
BRI Danareksa Sekuritas merekomendasikan buy dengan target harga Rp 8.500 untuk saham INCO, Rp 6.500 untuk saham MDKA, Rp 3.500 untuk saham ANTM, dan Rp 2.700 untuk saham PT Harum Energy Tbk (HRUM). ***
Editor/Sumber: Rizky/KONTAN.CO.ID