Sementara itu, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar melihat pelaksanaan KRIS akan bermasalah untuk peserta jaminan kesehatan nasional (JKN). Bahkan, aturan soal kelas standar dianggap malah kontraproduktif.
Timboel ikut menyoroti potensi single tariff yang akan muncul. Ia menduga iuran kelas 1 dan 2 bakal turun, sedangkan peserta BPJS Kesehatan kelas 3 ‘dipaksa’ membayar lebih.
Ia memprediksi kisaran iuran tunggal ini berada di rentang Rp42 ribu hingga Rp100 ribu per bulan. Dengan rentang tersebut, Timboel mewanti-wanti ancaman penurunan pendapatan dari iuran, serta di sisi lain potensi masyarakat miskin menunggak makin besar.
“Misalnya, ditetapkan Rp75 ribu (per bulan), maka peserta kelas 1 yang tadinya bayar Rp150 ribu akan menjadi Rp75 ribu dan yang Rp100 ribu (kelas 2) akan turun. Ini artinya ada potensi penurunan pendapatan iuran. Sementara kelas 3 yang saat ini bayar Rp35 ribu akan naik,” jelasnya.
“Artinya, peserta kelas 3 akan semakin sulit membayar iuran dan menjadi menunggak iuran yang akibatnya tidak mendapat layanan JKN. Saat ini saja yang iurannya Rp35 ribu masih banyak yang nunggak, dengan naik iuran maka akan semakin banyak yang menunggak,” tambah Timboel.
Selain ancaman defisit keuangan yang berujung penelantaran kesehatan masyarakat, ada bahaya lain. Timboel menyebut mereka yang selama ini berada di kelas 1 dan kelas 2 bakal merasa tidak puas dengan pelayanan KRIS.
Hal lebih parah muncul dari ketidakpastian ruang perawatan. Menurutnya, kehadiran kelas standar malah berpotensi menghambat akses ruang perawatan bagi peserta JKN.
Timboel mengutip pasal 18 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan yang menyebut alokasi ruang perawatan KRIS di RS swasta minimal 40 persen. Sedangkan di rumah sakit pemerintah paling sedikit 60 persen untuk rawat inap kelas standar dan sisanya bagi pasien umum.
“Ini artinya terjadi pembatasan akses bagi peserta JKN ke ruang perawatan di RS. Saat ini saja, di mana ruang perawatan kelas 1, 2, dan 3 diabdikan semuanya untuk pasien JKN masih terjadi kesulitan mengakses ruang perawatan. Apalagi nanti dengan KRIS, akan terjadi ketidakpuasan layanan peserta JKN,” jelas Timboel.