1) Mempertanyakan ulang apakah benar persoalan mendasar anak sekolah di seluruh daerah Indonesia adalah problem perkembangan biologis fisiknya. Berdasarkan data bahwa angka stunting di Indonesia masih cukup tinggi, yakni mencapai 6,1%. Namun jika dilihat secara medis penanganan stunting bukanlah ketika anak sudah usia sekolah, namun lebih preventif dimulai sejak ibu hamil. Dengan demikian upaya untuk menekan resiko stunting sebaiknya disasar pada ibu hamil, seperti memprioritaskan pemberian kecukupan gizi para ibu hamil, proses kelahiran, hingga pemberian gizi anak usia balita pada masa awal bertumbuh kembang.
2) Problem krusial pendidikan Indonesia lebih pada persoalan mutu pendidikan itu sendiri. Carut marut dunia pendidikan seakan menjadi problem permanen yang tak kunjung terurai ujung pangkalnya di setiap periode pemerintahan. Sebagai contoh adalah persoalan paradigma berpikir siswa sekolah. Kurban langsung carut-marutnya sistem pendidikan adalah kualitas pola pikir siswa sekolah. Ketidakjelasan ekosistem pendidikan sejak dari ideologi pendidikan, kebijakan publik tata kelola pendidikan, kurikulum, sarana-prasarana belajar, SDM, dll masih menjadi problem akut yang begitu ruwet selama ini. Walhasil peserta didik jauh dari kemampuan berpikir kritis dan solutif dalam menghadapi kehidupan. Lembaga pendidikan yang mestinya menjadi tempat bagi siswa didik untuk membentuk karakter baik, berpola pikir rasional sebagai syarat bertransformasi menjadi masyarakat berilmu pengetahuan tidak serta merta terwujud. Sebaliknya, lembaga pendidikan acapkali justru menjadi belenggu siswa mengembangkan kreativitas, daya kritis, dan talenta. Bahkan di beberapa lembaga pendidikan justru menjadi tempat sosialisasi doktrin irasional dan anti-peradaban.
3) Mapping dan identifikasi keragaman problem di masing-masing daerah di seluruh Indonesia. Secara geopolitik wilayah Indonesia begitu luas, besar, dan beragam. Karena itu membuat kebijakan publik yang digeneralisasi untuk seluruh daerah secara seragam dan serentak perlu ditinjau ulang. Tiap daerah memiliki problem yang berbeda-beda, budaya yang beragam, dan sumber daya yang tidak sama. Barangkali program makan siang gratis memang bagus dan menarik untuk wilayah tertentu tapi belum tentu tepat untuk wilayah lain, karena itu perlu dilakukan mapping dan identifikasi masalah masing-masing wilayah. Katakanlah jika wilayah Indonesia dibagi tiga bagian, yakni barat, tengah, dan timur maka program masing-masing wilayah harus menyesuaikan dengan jenis problem yang dihadapi. Sebagai contoh mungkin program makan siang gratis dan pemerataan infrastruktur sekolah khusus untuk Indonesia bagian timur, program peningkatan SDM pendidikan untuk Indonesia bagian tengah, dan program peningkatan mutu untuk Indonesia bagian barat.
4) Perlunya menjaga keseimbangan antar program. Ada dugaan untuk memprioritaskan program makan gratis konon berekses pada pengalihan alokasi anggaran program lain di berbagai bidang. Layaknya sebuah organisasi pemerintahan tentu pencanangan berbagai program itu semestinya bersifat holistik, komprehensif, dan saling simbiose mutualisme. Mengorbankan sebuah program di kementerian lain hanya demi memprioritaskan janji program makan siang berpotensi memunculkan persoalan baru bahkan bisa jadi kontra-produktif. Sebagai contoh di satu dalam kementerian saja, gara-gara program makan siang gratis jika menganulir program-program kesejahteraan stakeholder pendidikan, misal dana BOS atau pengurangan (peniadaan) tunjangan profesi guru atau dosen maka akan berimplikasi pada turunnya motivasi dan kinerja.
Merenungkan hal-hal tersebut di atas sebaiknya pemerintah tidak gengsi untuk mengevaluasi kebijakan makan siang gratis, tinggal bagaimana komunikasi politiknya ke publik. Daripada tetap dipaksakan tetapi berekses pada keberlanjutan program lain dimana keberlanjutan juga menjadi bagian dari komitmen Prabowo-Gibran yang pernah dijanjikan pada saat kampanye dulu. ***
(Penulis adalah dosen dan peneliti PR2MEDIA Yogyakarta)