Petani Dihalang Legalitas, Perusahaan Lolos Mulus
Mayoritas petani sawit di kabupaten seperti Morowali, Donggala, Parigi Moutong, Buol, dan Banggai telah menanam sawit sejak awal 2000-an.
Mereka membuka lahan secara swadaya, membangun kebun dengan modal terbatas, dan bertahan hidup dari hasil panen sawit yang semakin menurun karena usia tanaman.
Namun, saat mereka mencoba mengakses dana PSR, mereka dihalang oleh aturan administratif: tidak punya sertifikat (SHM), tak ada Hak Guna Usaha (HGU), dan kebunnya berada di kawasan hutan yang belum dilepaskan negara. Pemerintah berdiri kaku di balik regulasi, tanpa memberi jalan keluar. Akibatnya, ribuan hektare kebun petani tidak bisa diperemaja.
Sementara itu, perusahaan-perusahaan besar seperti PT Astra Agro Lestari (AAL) dan anak-anak usahanya, PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS), serta anak perusahaan dari Sinar Mas Group, dengan mudah menyerap dana PSR. Mereka punya dokumen lengkap, struktur koperasi yang “rapi”, dan akses langsung ke lembaga keuangan.
Bahkan dalam beberapa kasus, perusahaan membentuk koperasi plasma yang tidak sepenuhnya independen. Nama petani dicatut, tetapi dana dan pelaksanaan dikuasai oleh perusahaan. Petani hanya muncul di atas kertas, tetapi yang panen dana adalah korporasi.