BAGI masyarakat kebanyakan, Tentena adalah kawasan pariwisata Tanah Poso. Kota kecil di tepian Danau Poso ini sejak dahulu dikenal sebagai obyek wisata favorit di Sulawesi tengah. Selain memiliki panorama alam yang indah, beriklim sejuk, juga didukung oleh karakter masyarakatnya yang ramah.
Asal tahu saja, Danau Poso yang terletak 55 km dari pusat kota Poso itu, tercatat sebagai danau terluas ketiga di Indonesia, sudah begitu, danau yang dikelilingi oleh perkampungan penduduk itu, membentang kurang lebih 35 km dari Kecamatan Pamona utara, Pamona pusemba, Pamon timur, Pamona tenggara, sampai Pamona selatan.
Adalah ‘rumah bambu’ yang lebih dikenal dengan Dodoha, belakangan ini banyak dilirik sebagai salah satu tempat bersantai seraya memanjakan mata. Dengan menampilkan aristek bangunan yang unik dan artistik, bangunan yang 85 persen ramuan bangunanannya menggunakan bambu itu, menguatkan karakater khasnya sebagai pesona baru danau Poso. Selain ‘magnet’ seni artsitektur, rumah bambu yang terletak di bibir barat danau Poso itu, juga tersedia penginapan, restoran refresentatif, serta perpustakaan yang memiliki sedikitnya 2.000,- judul buku.
Menariknya, selain arsitekturnya yang unik, di rumah yang terletak di sebelah timur lokasi Festival Danau Poso itu, juga terdapat jembatan yang menjorot ke tengah danau sepanjang 200 meter dari induk bangunan. “Hitung-hitung bisa berkonstribusi dalam memperkaya destinasi wisata Poso, sekaligus membuka lapangan kerja baru bagi ibu-ibu”, kata Direktur Institut Mosintuwu, Lian Gogali, menanggapi ide pengelolaan restoran rumah bambu yang lebih dikenal dengan Dodoha (rumah persinggahan dalam bahasa Pamona).
Kini, restoran yang memiliki jembatan kayu menjulur ke danau sepanjang 200 meter itu, mulai ramai dengan pengunjung, meskipun jumlah pengunjung belum bisa diprediksi setiap harinya, tapi sudah berkonstribusi dalam memperkaya destinasi wisata danau Poso. “masih agak sulit sih untuk mengkalkulasi penghasilan setiap harinya, karena memang tujuan utamanya bukan semata-mata untuk mengejar keuntungan bisnis semata, tapi yang paling penting bagi kami adalah bagaimana pengunjung memiliki sarana rekreasi yang refresentatif, pemandangannya bagus, dan bisa terjangkau semua jenis kendaraan”, ujar Tety Cahyati, Manajer pelaksana, restoran dodoha.
Ia menambahkan, bagi aktivis ornanisasi non pemerintah (Ornop), pelaku usaha, dan instansi pemerintah, pihaknya menyiapkan restoran yang digawangi kaum perempuan tersebut ini sebagai tempat diskusi, plus kopi-teh, dengan biaya relatif terjangkau.
Selain restoran, dodoha yang bernaung di bawah Institut Mosintuwu, juga memiliki radio komunitas bernama Radio Mosintuwu. Dari frekuensi 107’7 FM itu kaum perempuan menyapa segenap konstituennya setiap hari. “Untuk sementara, kami baru bisa mengudara selama 9 jam, tapi sajian informasinya mulai kita tata, pagi-pagi ada sapa pendengar, sambil menyampaikan berita terkini, plus musik ringan lainnya. Kalau lagi tiba momentum tertentu, kami undang nara sumber untuk talk show”, sebut Elvin.
“Wah, luar biasa ibu-ibu tangguh ini, bisa bergerak, berorganisasi, dan bahu membahu dalam merintis jalan ekowisata bagi masyarakat pinggiran”, begitu yang terbesik dalam hati kecil penulis, menyaksikan geliat pengelola Dodoha yang energik dan progresif itu.
Kini, pesona baru di kitaran danau Poso itu terus berbenah dalam merespon tantangan pengembangan pariwisata danau Poso, seiring dengan tekad yang kuat dari duet kepemimpinan Bupati dan Wakil Bupati Poso, Darmin-Samsuri.
“Danau Poso adalah sepotong ‘surga’ yang Tuhan titipkan kepada kita di tana Poso. Kita memiliki tanggungjawab untuk memoles dan melestarikannya, demi anak cucu kita ke depan”, kata Bupati Poso, Darmin Agustinus Sigilipu, suatu ketika kepada Kaili Post, bermaksud menegaskan komitmennya dalam mengoptimalkan potensi pariwisata di wilayah yang di pimpinnya. Mari berkunjung ke Poso, selain memiliki danau yang indah, juga memiliki sejuta pesona alami dan sejumlah destinasi wisata alternatif menarik lainnya. **
reporter/editor: Darwis waru