Palu,- BADAN Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia kembali memberikan predikat Wajar Dengan Pengecualian (WDP) kepada Kabupaten Sigi. Menurut Kepala BPK RI Perwakilan Sulteng Bayu Subartha pemberian predikat tersebut dikarenakan banyak temuan dari BPK mengenai permasalahan pengelolaan keuangan negara di Kabupaten yang dipimpin Irwan Lapatta dan Paulina Hartono itu.
Dalam konferensi pers, Bayu mengatakan sejumlah temuan BPK tersebut didominasi kesalahan pada paket pekerjaan fisik yaitu infrastruktur. “Nilai temuan sebanyak Rp 7, 6 miliar lebih. Yang paling bermasalah adalah mengenai infrastruktur, seperti jalan dan jembatan,” ungkap Bayu usai menyerahkan LHP kepada 4 Bupati dan Wakil Bupati, Kabupaten Sigi, Buol, Morowali Utara dan Banggai Kepulauan.
Meski demikian lanjutnya, Pemkab Sigi telah mengembalikan temuan BPK tersebut ke khas negara senilai Rp 5, 3 miliar lebih. Tersisa hanya Rp 2, 3 miliar lebih. Untuk lebih spesifik mengenai temuan itu, Bayu memberikan kesempatan kepada ketua tim pemeriksa wilayah Sigi Sigit Purwanto untuk menjelaskan apa saja entitas temuan tersebut. Dalam penjelasannya Sigit menguraikan item–item infrastruktur yang jadi temuan. Ia mengatakan ada tujuh item tersebut, seperti jalan dan jembatan.
“Di antaranya adalah jembatan Sunju, Kaleke dan Jalan di wilayah Maarawola Barat. Dari sisa Rp 2 miliar yang belum dikembalikan, paling banyaka soal jalan dan jembatan,” beber Sigit. Ia menuturkan, nilai temuan BPK yang paling besar di Sigi adalah soal jalan dan jembatan, selain itu juga soal status aset yang tercatat, tapi tidak mempunyai dokumen lengkap serta pengembalian uang negara di beberapa bendahara SKPD. Pihak BPK memberikan waktu selama 60 hari kepada Pemkab Sigi untuk mengembalikan uang negara tersebut.
Bayu juga mengatakan hendaknya Sigi senantiasa memperbaiki kinerja tata kelola keuangannya dan tidak patah semangat untuk terus menerus membenahi infrastruktur pengelolaan keuangan daerah. Ia menyampaikan pemeriksaan atas laporan keuangan tidak dimaksudkan untuk mengungkan adanya penyimpangan (Fraund) dalam pengelolaan keuangan.
Meski demikian, jika pemeriksa menemukan adanya penyimpangan, kecurangan atau pelanggaran terhadap ketentuan perundang–undangan, khususnya yang berdampak adanya potensi dan indikasi kerugian negara, maka hal ini harus diungkapkan dalam Laporan Hasil Keuangan (LHP). **
Reporter/tmg: mahbub