Bayi Asal Jonokalora Diduga Korban Mal Praktek

  • Whatsapp
banner 728x90

Parimo,- WAHID, ayah Salwatu Nur mengatakan ketika dirujuk ke RSUD Anuntaloko Parigi ketika berumur 13 hari, kondisinya anaknya tidak mengalami cacat sedikit pun. Namun, setelah mendapat penanganan medis, perlahan-lahan tangan anaknya berubah dan beberapa jarinya terlihat seperti terbakar dan akhirnya keluarga memutuskan keluar dari RSUD Anuntaloko Parigi setelah sempat dirawat selama 13 malam.

Setelah itu kata dia, beberapa hari kemudian pihaknya mendatangi kembali RSUD Anuntaloko Parigi hingga melayangkan surat untuk meminta tanggungjawab terkait kondisi anaknya yang mengalami cacat. Hanya saja, pihak RSUD Anuntaloko Parigi terkesan cuek dan tidak merespon upaya yang kami lakukan. Sehingga, dirinya bersama keluarga memutuskan untuk melaporkan pihak RSUD Anuntaloko Parigi ke Polisi.

“Kebetulan bapak saya seorang imam di salah satu Mesjid di Kelurahan Kampal. Melalui bapak saya, dr. Karim membicarakan hal itu untuk diselesaikan secara kekeluargaan dan kami pun menerimanya. Menurut penjelasan dr. Karim kepada bapak saya, bahwa pihak rumah sakit siap bertanggungjawab. Tetapi, kami berikan waktu seminggu saja, jika hanya membuat kami menunggu, terpaksa kami lanjutkan proses hukum,” tegasnya.

Sementara itu, Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Anuntaloko Parigi, Hj. Nurlela Harate menyebutkan, penanganan seorang bayi bernama Salwatu Nur yang masih berumur tiga bulan asal Desa Jonokalora Kecamatan Parigi, Barat yang diduga korban mal praktek sudah sesuai protap. Bahkan, `Nurlela pun membantah bahwa pihaknya tidak melakukan mal praktek terhadap bayi yang itu baru berumur 13 hari setelah dilahirkan.

Melainkan, berupaya melakukan penyelamatan terhadap jiwa bayi dari pasangan Wahid dan Nurlin itu. Ia menjelaskan, dari hasil pemeriksaan awal bayi bernama Salwatu Nur di Instalasi Gawat Darurat (IGD), bahwa kondisinya tidak dalam keadaan sehat.

Bahkan, dari hasil pemeriksaan dokter yang menanganinya, menjelaskan bahwa saat itu kondisi bayi tersebut juga tengah mengalami penurunan kesadaran, yang sudah memasuki tahapan ke empat hingga mengakibatkan koma.

Tidak hanya itu, bayi tersebut juga dalam kondisi tidak dapat menyusui diakibatkan terjadinya inveksi pada bagian mulut.

Sedangkan saat itu, kondisi bayi tersebut memerlukan cairan makanan yang harus masuk ke dalam tubuhnya. Sehingga, dipilihnya cara untuk memasukan cairan makanan melalui invus, apakah melalui tangan dan kaki atau melalui tali pusar.

Setelah itu diperiksa kata dia, tali pusar bayi tersebut juga mengalami inveksi yang dipastikan bukan kuman penyebab tetanus dan lambungnya pun juga tidak dalam keadaan normal serta berwarna kecoklatan.

“Dipilihlah pemberian cairan makanan melalui tangan karena cara lainnya tidak memungkinkan. Satu-satunya jalan agar bayi itu bisa hidup, hanya dengan cara memberikan cairan. Sedangkan obat yang digunakan adalah jenis obat memiliki resiko seperti antibiotic. Jika tidak secepatnya diberikan cairan, sementara otak bayi yang kisut akibat kesadarannya koma, jelas akan meninggal dunia,” jelas Nurlela kepada Kaili Post saat dikonfirmasi terkait hal itu di ruang kerjanya belum lama ini.

Lanjut ia mengatakan, obat yang dimasukan pada bayi tersebut melalui infus adalah jenis obat, yang memiliki resiko dan sama dengan seluruh jenis obat lainnya.

Dengan inveksi yang diderita oleh bayi tersebut dari hasil pemeriksaan dan kondisi fisiknya yang hampir koma kata dia, terjadilah resiko yang menyebabkan dua jarinya harus diamputasi. Namun, sebelum melakukan amputasi, dokter yang menangani bayi tersebut melihat penyebaran penyakit pada tangannya semakin bertambah dan dilakukanlah konsultasi dengan bagian bedah.

Sehingga, bagian bedah mengamputasi dua jari bayi tersebut dan tertuang dalam rekam medik serta dokter yang bersangkutan pun mengklarifikasi terkait hal itu kepada pihak keluarga. Bahkan, ia pun membantah terkait beredarnya informasi yang menyebutkan pihak dokter akan mengamputasi lima jari bayi tersebut tidak benar. Menurutnya, tindakan yang dilakukan dokter, tentu dengan harapan agar bayi itu tidak mengalami gangguan dalam tumbuh kembangnya nanti. Hanya saja, setelah 13 hari dirawat, keluarga bayi tersebut memutuskan untuk keluar secara paksa dari RSUD Anuntaloko Parigi.

Ditanya terkait soal penyebab keluarga bayi yang melaporkan pihak RSUD Anuntaloko Parigi karena dianggap tidak bertanggungjawab, ia pun menampiknya. Pasalnya, ketika keluarga bayi tersebut melayangkan surat untuk meminta tanggungjawab kepada pihaknya, dirinya pun langsung menginstruksikan menggelar pertemuan bersama komite medik. Sedangkan, pertemuan bersama komite medik tersebut baru dapat dilaksanakan pada akhir april. Dari hasil pertemuan itu kata dia, dr. Muhammad selaku Ketua Komite Medik berkunjung dan melihat langsung kondisi bayi tersebut.

“Pada 16 Mei, keluarga bayi datang untuk menemui saya. Namun, hanya bisa bertemu dengan salah satu kepala bidang karena saya sedang tidak di tempat. Menurut salah satu kepala bidang saya, bahwa telah disampaikan kepada keluarga bayi itu agar bersabar dan menunggu untuk dihubungi kembali. Kami tidak bermaksud mengabaikan kedatangan keluarga bayi tersebut. Secara medis, tidak ada intervensi yang dilakukan, hal tersebut hanya proses penyelesaian persoalan amputasi itu saja,” jelasnya.

Ia menambahkan, pihaknya juga telah melakukan langkah-langkah penyelesaian dengan baik seperti menghubungi keluarga bayi melalui telefon untuk dimintakan hadir dalam pertemuan yang kami laksanakan dan hal itu pun diiyakan. Namun, keesokan harinya tepatnya di bulan Mei 2017 ini, keluarga bayi tersebut batal menghadiri pertemuan karena memutuskan untuk melapor ke polisi hari itu dan pihaknya pun terpaksa tidak lagi menindaklanjutinya.

Terkait persoalan tersebut kata dia, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Parmout juga telah menginstruksikan Inspektorat agar melakukan pemeriksaan terhadap pihaknya.

Bahkan, pihak Inspektorat juga telah menemui secara langsung pihak keluarga bayi tersebut. “Saat ini, pemeriksaan yang dilakukan oleh Inspektorat terhadap kami masih berjalan. Kami juga sudah berusaha kembali menyelesaikan persoalan tersebut dengan berkoordinasi langsung dengan Pemerintah Desa (Pemdes) Jonokalora. Mudah-mudahan, kami secepatnya dapat dipertemukan dengan keluarga bayi tersebut. Tetapi, soal penanganan yang kami lakukan sudah sesuai protap dan itu berdasarkan analisa dari komite medik sehingga dikeluarkanlah pernyataan tersebut,” terangnya.**

reporter: Roy Lasakka

Berita terkait