PK TAK HALANGI EKSEKUSI

  • Whatsapp
TERPIDANA GEDUNG WANITA

 

SULTENG,- MASIH Ingat kegamangan Kejaksaan Negeri Parigi Moutong mengeksekusi Ekka Pontoh (EP), terdakwa Tipikor yang diganjar 6 tahun denda Rp200 juta sesuai perintah eksekusi Mahkamah Agung (MA) RI.  Kegamangan itu justeru mendulang tanya di lingkungan Kejaksaan Tinggi Sulteng. Pasalnya, sesuai aturan sebagai lembaga yang mengajukan kasasi memiliki kepentingan dan penegakan hukum.

Kini publik di Sulteng pun mempertanyakan hal serupa di Kejari Palu. Mengapa gamang menjalankan perintah MA RI terkait dengan eksekusi terpidana pembangunan gedung wanita (GW) Pemprov Sulteng. Menurut sumber di Palu, ketiga orang yang akan dieksekusi adalah inisial DS, T dan F. Sedangkan PPK, inisial S sudah dieksekusi. Sedangkan putusan MA RI akibat hukum dari kasasi pihak kejaksaan.

‘’Amar kasasi kan jelas bahwa ada yang akan diajukan hingga ke tingkat kasasi di MA. Kalau sekarang kasasi dikabulkan MA RI tapi pihak kejaksaan yang mengajukan kasasi bimbang mengeksekusi ada apa ini. Sebaiknya harus ada pertimbangan hukum menunda, karena konsekwensinya akan hukum pula bila menunda putusan MA,’’ ujar Safruddin, salah satu pengacara di Palu.

Kasus Eka Pontoh, Kasi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi (Kejati), Andi Rio Rahmatu menerangkan terkait tertundanya eksekusi EP, itu kewenangan dan hak Kejari Parmout. Karena pihak Kejati sendiri sudah melimpahkan semuanya ke Kejari. Karena kasus ini sudah menjadi domain Kejari Parmout itu sendiri.

“Sepanjang itu masih sesuai dengan koridor hukumnya, kita dari Kejati akan tetap mendukung Kejari untuk melakukan eksekusi. Kalau memang eksekusinya harus tertunda karena alasan hukum yah kita akan tetap back up dia (Kejari), karena Kejari sendiri masih bagian dari Kejati. Tapi jika memang sudah tidak ada alasan jelas, untuk apa menunda-nunda eksekusinya, kalau menurut saya,” ungkapnya kepada Kaili Post saat ditemui di ruangannya, (28/2/2017).

Andi Rio juga menerangkan, Peninjauan Kembali itu berdasarkan Kitab UUD Hukum acara Pidana tidak menghalangi eksekusi. Tapi jika ada kondisi tertentu yang memang mengharuskan pihak Kejari untuk menunda eksekusi yah itu semua tidak masalah, tapi jika tidak ada alasan jelas harusnya proses eksekusi bisa dilakukan karena keputusan MA sudah keluar.

“Semua kami sudah limpahkan ke pihak Kejari terkait eksekusi Ekka Pontoh, karna yang punya hak melakukan eksekusi itu mereka, mereka yang punya domain. Jika memang harus di tunda itu terserah mereka asal alasannya jelas, jadi yang punya keputusan itu mereka bukan dari pihak Kejati lagi,” kata Andi Rio.

Sebelumnya, pemberitaan 27 Pebruari 2017, Kajari Parmout kegamangan mengeksekusi EP, karena pihaknya masih akan mempelajari lagi apakah eksekusi adalah perintah MA atau eksekusi perintah Peninjauan Kembali (PK). “Kami akan tetap eksekusi Ekka, namun karena ada dua versi yang berbeda, makanya nanti kami akan mempelajari apakah eksekusi yang kami lakukan adalah atas perintah MA atau perintah PK kelak,” ujar Jurist. Kata dia, berkaitan dengan kapan eksekusi dilakukan, pihaknya saat ini sedang melayangkan surat ke pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati).

“Bulan kemarin saya sudah melayangkan surat ke Kejati untuk mempertanyakan kapan Ekka Pontoh bisa dieksekusi, ada pun penjabaran isi surat tersebut saya tidak bisa beberkan ke teman-teman media, sebab sifat dari surat tersebut adalah rahasia,” terangnya.

Jurist menuturkan, mengapa hingga saat ini pihaknya belum mengindahkan perintah MA untuk melakukan eksekusi, karena terjadi pertentangan antara dua fakta hukum dengan penyidik yang sama, dalam hal ini pihak Polda Sulteng.

Kata dia, melihat pada kasus pertama Ekka pontoh yang ditangani oleh Tipikor Polda Sulteng, yang dimana kasusnya adalah mencairkan anggaran melalui penandatangan Surat Perintah Mencairkan (SPM), namun saat ini penyidik Polda Sulteng menyidik perkara pemalsuan, yang dimana tanda tangan Ekka Pontoh ternyata dipalsukan oleh Mohamad Agus, dengan tersangka Damran.

Lanjut dia, walaupun dalam hal eksekusi adalah domain pihaknya, namun dalam hal kasus ini, pra penuntutannya adalah pihak Kejati Sulteng. Jadi karena ditemukan pertentangan dua fakta hukum oleh pihak Polda, maka pihaknya tidak bisa serta merta melakukan eksekusi, walaupun pihak MA telah memerintahkan untuk dilakukan eksekusi.

“Dalam struktur hukum kejaksaan, di sini kami masih ada tingkatan yang lebih tinggi, yakni Kejati, makanya berkaitan dengan pra penuntutan pihaknya tidak bisa ambil sikap sendiri. Saat ini saya masih menunggu balasan surat atas arahan Kejati selanjutnya,” tuturnya.

Ditegaskannya, dalam kasus seperti ini, ada Adagium, lebih baik melepaskan 1.000 orang bersalah dari pada harus menahan satu orang yang tidak bersalah. Sebab, hal ini fakta di depan mata dengan penyidik yang sama.

Saat ditanyakan, apakah dalam kasus Ekka Pontoh, pihak jaksa akan melakukan pengembangan penyelidikan kasus terkait aliran dana sebagaimana yang tercantum dalam pembacaan pembelaan dakwaan oleh Ekka pontoh di pengadilan, Jurist mengatakan, untuk hal itu pihaknya belum melihat tuntutan dakwaannya, sebab pihaknya hanya melihat dari sejumlah barang bukti adalah ada pengembalian uang Rp1 miliar ke kas daerah, dan beberapa bukti-bukti kwitansi. **

Reporter: Andono Wibisono/Fharadiba

Berita terkait