JOHN MC BETH, Wartawan senior kawasan Asia telah membahas ambisi Gatot Nurmantyo (GN) untuk pilpres 2019 sejak awal tahun lalu dalam artikelnya “Jokowi and the General”. Mc Beth menjelaskan bahwa pemutusan hubungan kerjasama militer Indonesia dan Australia hanyalah taktik politik GN saja untuk ambisinya untuk menjadi terlihat nasionalis. Sejak Pangkostrad, katanya, GN sudah banyak berbicara teori konspirasi dan “proxy war”.
Kedekatan GN dengan Front Pembela Islam (FPI) dan berbagai langkah GN yang melindungi gerakan-gerakan Islam dalam isu permusuhan terhadap Ahok di awal tahun 2017, pidato-pidato GN yang menyerang kepentingan asing yang mengancam Indonesia dan spekulasi yang diciptakannya bahwa mariner Amerika di Australia ditujukan untuk merampas Papua, dianggap Mc Beth sebagai simbol ultra nasionalistik yang akan bangkit bersama GN.
Pikiraan Mc Beth tentang GN tetap buruk dalam tulisan terbarunya, “Military Ambition Shake Indonesia’s Politics” (http://www.atimes.com/article/military-ambitions-shake-indonesias-politics/) awal bulan Oktober ini.
Beth memprediksi pula nasib GN akan sama dengan Moeldoko, mantan Panglima sebelumnya, yang akan meredup jika sudah tidak menjabat lagi. Menurutnya, mungkin hanya kelompok Prabowo dan PKS saja yang memberi ruang politik bagi karir GN setelah pensiun dan dalam konteks Pilpres 2019.
Tentu saja analisa Mc Beth tersebut bertepuk sebelah tangan. Kemunculan GN dalam pentas politik nasional sebagai tokoh yang melejit untuk menjadi alternatif pada pilpres 2019 semakin nyata. Setidaknya, dalam konteks penokohannya sebagai cawapres, partai-partai pendukung Jokowi, seperti Hanura, PKB, PPP, Golkar dan Nasdem mulai mengemas nama GN.
Partai-partai ini ada yang secara tegas sudah memberi sinyal kuat mendukung GN sebagai cawapresnya Jokowi, seperti yang dinyatakan tokoh Nasdem Taufiqul Hadi, dedengkot Golkar Akbar Tanjung, Sekjend PPP Asrul Sani, Wakil Sekjend PKB Daniel Johan. Partai Hanura, meskipun tidak menyatakan posisinya dalam mendukung GN, tetap saja memberikan panggung besar bagi ketokohan GN pada Rapimnasnya di Bali beberapa waktu lalu.
Melihat fakta di atas, sudah jelas bahwa eksistensi GN yang ditempatkan Mc Beth secara partial lebih sesuai hanya dengan kelompok oposisi kurang tepat. Memang, dari partai pendukung Jokowi, sampai saat ini hanya PDIP saja yang secara terang terangan menunjukkan posisi diametral dengan GN, seperti tercermin dalam serangan Eva Sundari, anggota DPR asal PDIP yang menuduh GN sudah di luar koridor dan kental berpolitik.
Di luar parpol, lembaga-lembaga survey, juga mulai mensosialisasikan GN sebagai calon pemimpin nasional pada Pilpres 2019. Terlepas dari kuantifikasi elektabilitas survey, tokoh-tokoh lembaga survey tersebut mendorong nama GN muncul sebagai cawapres potensial mendampingi Jokowi atau Prabowo dan bahkan ada yang menjadikan GN sebagai capres potensial.
Burhanuddin Muhtadi, lembaga survey Indikator Politik Indonesia, dan Djayadi Hanan, SMRC, misalnya, mengunggulkan GN sebagai cawapres Jokowi. sebaliknya dedengkot lembaga survey, Denny JA, sudah menulis Gatot dalam pusaran pertarungan capres 2019, bersaing dengan Jokowi dan Prabowo.
Di samping Denny, Lembaga Survey KedaiKOPI juga merilis nama GN sebagai capres 2019. Menurut lembaga survey Median, yang menginginkan masing masing Jokowi dan Prabowo, masih lebih rendah dari total yang menginginkan capres selain mereka (40,6 persen). Tokoh-tokoh lembaga survey dan tokoh-tokoh parpol, sementara ini, adalah propagandis utama dalam kemunculan tokoh dan ketokohan elit nasional. Dengan dukungan kemunculan GN dalam langkah politik mereka, maka dapat dipastikan bahwa GN akan menjadi bintang baru dalam kandidat pemimpin nasional 2019.
Bagaimana mengaitkan GN dengan isu-isu sosial politik dan sosial ekonomi yang berkembang saat ini? Ada 4 isu utama yang perlu kita teliti ke depan, pertama, “divided society” (masyarakat yang terbelah), kedua ekonomi memburuk dan ketimpangan sosial, ketiga pilkada 2018 dan “world disorder”.
Divided society. Merupakan kondisi riil masyarakat kita dalam semua level. Ketegangan horizontal terjadi secara massif dan semakin akumulatif sejak Pilpres 2014 dan mengental pada saat pilkada DKI yang lalu. Sebagian masyarakat kita, jika merujuk pada 9 Megatrend Politik Nasional versi Rumahurmuzy (Romi), masuk pada konservatisme. Menurutnya, trend konservatif ini bersifat mendunia, seperti juga dalam fenomena terpilihnya Donald Trump dan peristiwa “Brexit”. Untuk di dalam negeri Romi merujuk pada Aksi 212, di mana umat Islam melakukan demo bela Islam dengan massa sekitar 7 juta jiwa.
Konservatisme yang dimaksud Romi itu, dalam beberapa literatur cenderung pula disebut dengan kebangkitan populisme, telah membelah “masyarakat 212” vis-à-vis dengan “masyarakat kebhinnekaan”. Pendukung Prabowo pada Pilpres 2014 dianggap mewakili “masyarakat 212” sedangan pendukung Jokowi adalah ‘masyarakat kebhinnekaan”.
Di Amerika sendiri masyarakat ini sudah terbelah dalam, antara masyarakat pemilih Partai Demokrat vs masyarakat pemilih Partai Republik. Ukuran keterbelahan masyarakat di Amerika ini selalu dapat dipantau dalam survey-survey yang antara lain dilakukan lembaga “Pew Research”. Sebaliknya, di Indonesia hal tersebut tidak dilakukan, sehingga kita tidak mempunyai kepastian berapa persen kelompok median yang tersisa.
Kecemasan akan keterbelahan ini membutuhkan figur yang mampu menyatukannya. Meskipun ketegangan sosial berlangsung dalam tensi yang tinggi, khususnya pasca adanya Perpu 2017 tentang Ormas, namun pikiran masyarakat untuk mengakhiri Indonesia sebagai milik bersama belum muncul kepermukaan. Sebagian pengamat mengatakan bahwa figure GN dapat melengkapi Jokowi. Sebagian lainnya menganggap justru GN mempunyai peluang merangkul masyarakat yang sedang terbelah ini.
Isu kedua adalah buruknya situasi ekonomi dan tingginya ketimpangan sosial. Meski Jokowi berjanji dalam Nawacita untuk memperkuat ekonomi rakyat, baik melalui pembangunan dari desa, daerah terluar, penurunan suku bunga KUR dan melakukan “landreform” 9 juta Ha lahan kepada petani, faktanya saat ini terjadi keluhan buruknya daya beli masyarakat.
Ekonomi yang diklaim tumbuh rata-rata 5 persen, hanyalah angka makro ekonomi, yang lebih bisa dijelaskan sebagai sumbangan dominan sektor konsumsi. Berbagai lembaga survey juga, ketika mengaitkan pertanyaannya dengan situasi ekonomi, responden dominan mengeluh soal rendahnya lapangan pekerjaan, tingginya biaya hidup dan semakin sulitnya situasi ekonomi keluarga saat ini.
Dalam konteks Gini (based on expenditure), kofisien Gini kita sudah beberapa tahun tidak mengalami penurunan, kecuali pemerintah mengklaim penurunan pada angka perseratus. Situasi ketimpangan semakin memanas dengan isu adanya 4 orang terkaya memiliki kekayaan sama dengan jumlah 100 juta orang Indonesia kelompok bawah. Ini dirilis oleh lembaga LSM Inggris Oxfam beberapa saat lalu. Bahkan, dalam minggu-minggu ini rakyat Indonesia menonton berita-berita adanya orang Indonesia yang memiliki harta sejumlah Rp 18,9 triliun, yang dipindahkan melalui Bank Standar Charter.
Ketimpangan ini membuat dendam dan kemarahan rakyat dalam isu struktural. Kemarahan ini memunculkan isu SARA di mana adanya tuduhan bahwa Indonesia ini bukan lagi milik kita (pribumi asli). Entah mengapa pula GN memposisikan diri mewakili kekecewaan itu dalam sebuah pembacaan puisi “Indonesia bukan kami punya” pada acara Golkar di Kalimantan beberapa waktu lalu. Hal ini tentunya menunjukkan keterhubungan antara isu di “grass root” dengan sikap GN ke depan.
Isu ketiga adalah masalah Pilkada 2018. Pilkada 2018 bisa membuat polarisasi yang ada berkembang ke arah yang berbeda. Hal ini khususnya terjadi jika koalisi partai pendukung Jokowi terbelah dalam mengusung calon gubernur dan sedikitnya calon bupati/walikota. Umpamanya di Jawa Timur. Kita melihat di sana PKB sudah lebih dulu mendukung Syaifullah Yusuf sebagai Cagub. Namun, jika Jokowi dan beberapa partai pendukung lainnya, cenderung mendukung Khofifah, ditambah PDIP yang masih mengarahkan dukungan pada Tri Rismawati, sebagai pemilik massa dukungan terbesar dari Jatim, PKB tentu akan melihat perpecahan ini sebuah masalah serius.
Masalah ini pasti berdampak pada kesolidan koalisi pro Jokowi 2019. Jika koalisi partai pro Jokowi mengalami perpecahan pada pilkada 2018, dengan asumsi meskipun UU Pemilu tidak berubah di MK, maka kemungkinan munculnya capres alternatif di luar Jokowi dan Prabowo akan semakin besar. Sosok GN mempunyai keuntungan dalam situasi ini.
Isu terakhir adalah “World Disorder”. Saat ini kita melihat, meskipun ada sebuah superpower yakni Amerika dan dua middle power yakni China dan Rusia, serta kekuatan di bawahnya yang semakin tersebar, seperti NATO, Iran, Turki dll, arah globalisasi masa sebelumnya yang cenderung didominasi barat, saat ini mengalami arah yang tidak menentu (disarray). Fenomena Trump dan Brexit menunjukkan egoisme tingkat negara lebih dominan dibanding isu transnasional, seperti Kapitalism Global dan Perdagangan Bebas.
Kedekatan Trump dan Le Penn (kandidat Presiden Prancis terkuat kedua kemarin) dengan Rusia membuktikan sebuah anomali tatanan global. Dalam tingkat regional, perseteruan China vs Amerika di konflik Laut Cina Selatan (LCS) saat ini menyisakan ketidak pastian sikap Indonesia dan mengombang-ambingkan sikap negara-negara Asean lainnya. Philipina yang sebelumnya pro Amerika bergeser menjadi pro China. Hal ini menjelaskan persekutuan politik dalam tradisi dan tatanan lama semakin dipertanyakan.
Dengan semakin bebasnya sebuah negara membangun persekutuan internasional, maka peranan global dalam percaturan politik Pilpres Indonesia cenderung berkurang. Meski tidak menutup kemungkinan adanya perseteruan negara besar seperti USA dan China dalam mendominasi Indonesia, tetap saja negara-negara tersebut lebih membatasi kelebihan resources nya pada kepentingan dalam negeri mereka. Dalam situasi seperti ini, pertarungan 2019 lebih berat pada peristiwa dan situasi lokal ketimbang kancah politik dunia. Situasi ini tentu lebih menguntungkan GN sebagai petarung baru ke depan.
Pemilu tinggal dua tahun lagi, atau masih dua tahun lagi. Jokowi sendiri sudah meminta kelompok pendukungnya yang non partai, untuk mulai berkampanye. Hal itu disampaikannya beberapa waktu lalu dalam acara Projo. Tentu demokrasi dan segala kebajikannya harus kita ikuti. Peluang GN dari uraian sebelumnya di atas, sangat besar untuk menjadi Cawapres maupun Capres 2019. Namun, peluang kepemimpinan nasional harus pula dibuka selebar lebarnya. Semakin banyak calon yang bisa muncul dalam pertarungan capres dan cawapres ke depan, semakin banyak stock kepemimpinan nasional. Itu sesuatu yang baik.
Akhirul kata, kita berharap dari diskusi ini, muncul tokoh tokoh baru yang bisa terus diproagandakan keberadaannya, baik dari kalangan Islam, seperti Prof. Din Syamsudin, Yusril Ihza, Muhaimin Iskandar, Anies Baswedan atau dari kalangan purnawirawan militer seperti AHY, Moeldoko atau dari kaum Marhaen/nasionalis seperti Puan Maharani, Rizal Ramli dan Pramono Anung. Semoga bangsa ini mendapatkan pemimpin terbaiknya tahun 2019. **
Oleh: Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle