Modal Kerja Keras, Anak Sukses Sarjana

  • Whatsapp
Reporter : Firmansyah

GATOT, Jika menilik dari namanya, banyak orang
mengira bahwa perawakanya layaknya seperti salah seorang tokoh pewayangan tanah
Gatot Kaca. Dengan postur tinggi besar memegang gada, dijuluki ‘otot kawat,
tulang besi’  

Pria kelahiran 13 Mei 1975 tersebut justru 90 derajat
berbanding terbalik. Tubuhnya mungil, dengan ‘hiasan’ uban yang menyelimuti
kepalanya. Menandakan betapa berat, terjal dan banyaknya aral melintang yang
pernah dilaluinya. Wajah ramahnya masih menyiratkan semangat bekerja yang tak
kunjung padam.

Suara gaduh yang berasal dari bunyi mesin
pompa angin, serta bau karet terbakar menyelimuti sebuah bengkel permanen yang
ada di bilangan Jalan Danau Talaga Palu Barat tersebut. Diselingi tawa kelakar
mereka yang menunggu motor mereka yang sementara di service Gatot Cs. Kali ini
Kaili Post mengungkap lika-liku perjalanan hidup seorang anak rantau yang ada
di Palu.
Dilahirkan di Jembrana (Bali) 43 tahun silam.
Di tahun 1979, Gatot yang masih berusia lima tahun tersebut, dibawa kedua orang
tuanya merantau ke Sulteng, tepatnya di bumi Sintuvu Maroso atau Kabupaten
Poso. Dengan bertani kedua orang tuanya menghidupi dia dan empat orang
saudaranya yang kini telah berkeluarga. Semua masa sulit yang dialaminya
bersama keluarganya, memacu keinginanya untuk mencoba peruntungan di kota Palu.

Di tahun 1990, dia menyambangi  Palu.
Dengan bekerja sebagai pelayan sebuh toko. Kurang lebih empat tahun
kemudian,  Gatot menyunting seorang gadis pujaanya bernama Dina. Berawal
dari masa itulah perjuangan hidupnya bersama istrinya di mulai. ‘’Setelah saya
menikah sekitar tahun 1995, saya berhenti bekerja sebagai pelayan toko, dan
mulai berwira usaha sendiri. Berjualan siomay keliling Palu menggunakan
sepeda,’’ tuturnya.

Dinding rumah petak sewaan, yang terbuat dari
papan tempat mereka bernaung, menjadi saksi betapa kerasnya kehidupan bagi
pasangan muda tersebut. Setelah beberapa tahun berjualan siomay, Gatot mencoba
peruntungan jualan mainan anak-anak di sekolah. Namun hal tersebut tidak
berlangsung lama. Karena sangat menyita waktunya. Berangkat pukul lima subuh,
pulangnya 20.00 wita.

Ia pun banting stir menjadi pengumpul barang
rongsokan. Hasil dari beberapa usaha yang dilakoninya, menurutnya hanya bisa
mencukupi kebutuhan hidup mereka saja. Boleh dikata, penghasilanya pas-pasan
buat hidup. Namun itu semua tidak membuatnya patah arang.

Bermodalkan hasil simpanan yang tidak terlalu
banyak. Pria asal Banyuwangi tersebut mencoba membuka usaha jasa bengkel tambal
ban di seputaran Danau Talaga Palu Barat. Bermodalkan semangat hidup yang
besar, serta keahlian montir seadanya. Di tahun 1999 dia merintis usaha
barunya. ‘’Waktu itu saya berpikiran untuk mencoba usaha baru, dengan menyewa
tanah dan membuka bengkel seadanya di jalan Danau Talaga. Saat itu penghasilan
bersih dalam perharinya hanya Rp7.500 le, namun semuanya disyukuri dan jalani
dengan doa,’’ akunya.

Setelah beberapa tahun jatuh bangun dalam keperihan
hidup. Dia memperoleh secercah cahaya mulai menghampiri Suami dari Dini dan
bapak Dewi, Andika serta Rani tersebut. Bermodalkan hasil tabungan dari bengkel
kumuhnya, dia mulai mengepakan sayapnya dengan menyewa tanah yang tidak jauh
dari lokasi pertama, dimana menurutnya lebih strategis.

Ia melanjutkan jasa usaha utak-atik otomotif
yang lebih baik lagi. Selain itu, Gatot juga mengaku mempunyai usaha sampingan
yang dikelola istrinya, mulai dari pembuatan ice cream hingga makanan camilan
nugget.  ‘’Untuk saat ini istri saya
mengelola usaha pembuatan nugget. Alhamdulilah usaha tersebut berkembang hingga
sekarang, ” katanya.

Menurutnya, dari beberapa hasil usaha yang
mereka lakoni mulai dari awal hingga saat ini. Sedikitnya sudah berhasil
menamatkan anak sulungnya menjadi sarjana S1 Farmasi di Universitas Tadulako
beberapa waktu lalu. Namun hal tersebut tidak serta-merta membuat dirinya
berpangku tangan dan berleha-leha. Meskipun dia dan keluarganya telah memiliki
rumah sendiri di Jalan Ogo Mojolo Palu Barat. Bukan berarti perjuangan telah
berakhir. Gatot tetap melayani dan terjun langsung dalam memperbaiki semua
jenis kendaraan roda dua yang singgah di bengkel barunya.

Menurut pengakuanya, tanah yang berada di Jalan
Danau Talaga tempat bengkel otomotifnya berdiri, telah dibelinya. Penghasilan
setiap hari dari bengkel permanenya, Gatot menjelaskan bisa mencapai Rp300.000
perharinya. Saat ini, dirinya memperkerjakan dua orang karyawan, termasuk salah
seorangnya merupakan adik kandungya yang telah berkeluarga.

‘’Anak saya yang kedua Andika saat ini masih
sekolah di SMKN 2 atau STM usai pulang sekolah, saya ajak untuk membantu.
Selain untuk memperdalam bidang otomotif, juga agar terbiasa mencari uang
sendiri. Sehingga nantinya saat berumah tangga tidak kelabakan lagi menafkahi
keluarganya, ” terangnya sambil tersenyum.

Keinginanya untuk kembali ke tanah leluhurnya
Banyuwangi menurutnya belum terpikirkan hingga saat ini. Kedua orang tuanya
kini masih berada di Kabupaten Poso, tepatnya di Desa Kalora. Masih sehat
beraktifitas menjadi petani. ‘’Pernah sekali di tahun 2011 lalu, kami sekeluarga
berkunjung ke Banyuwangi untuk silaturahim dengan famili. Namun untuk bermukim
di sana, sepertinya belum terpikirkan. Selain orang tua saya masih ada di Poso.
Saya juga sudah merasa menjadi orang Kaili le. Belum lagi empat orang saudara
kandung, semuanya kawin dengan warga di sini,’’ jelasnya.

Dari beberapa catatan perjalanan hidupnya yang
penuh lika-liku dan perjuangan tersebut. Gatot sekeluarga sudah bisa memetik
buah hasil kerja kerasnya. Dia juga berharap agar anaknya bisa menikmati dan merasakan
manisnya jerih payahnya selama ini. Setidaknya, kepahitan hidup yang dialami,
serta bagaimana letihnya  dalam memecahkan karang kehidupan yang
dituangkanya melalui Media ini,  tidak lagi dirasakan oleh anak dan
cucunya kelak.**

Berita terkait