PASCA Pertemuan MRT di Lebak Bulus, Jokowi dan Prabowo menjadi puncak konsolidasi (saya lebih suka menyebut diksi ini; ketimbang rekonsiliasi atau sejenisnya) nasional. Disadari atau tidak, Pilpres 2019 satu satunya Pilpres dalam sejarah Indonesia mengalami pembelahan sikap yang dalam.
Sebutan Kampret dan Cebong adalah frase menunjukkan dua kutub yang saling berhadapan-hadapan antar pendukung. Baik pendukung Prabowo atau Jokowi. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI pun bukan mencairkan gunung es pembelahan, tapi justeru menjadi anti klimak dari perseteruan politik.
Lantas mengapa dengan Anies? Gubernur Anies Baswedan? Akhir akhir ini, pasca Pilpres banyak media mulai menulis soal kiprahnya memimpin Jakarta. Bahkan, soal penerbitan IMB di pulau reklamasi pun Anies tak lepas dilempari kritik pedas. Bukan hanya itu, Anies pun dihadang dengan sejumlah komentar pejabat nasional agar tidak ‘boros’ ke luar negeri. Soal pengadaan Bambu Getih dan seterusnya. Pokoknya praktis, kebijakan Anies dan tindak tanduknya mulai disoal.
Diakui atau tidak, Anies Baswedan akhir akhir ini pula dirasakan sebagai gubernur ‘berasa’ presiden. Bahkan, the next presiden Indonesia sangat berpeluang di tangannya 2024 mendatang. Aura Anies, saya bisa rasakan ketika datang di HAUL GURU TUA ke 51 tahun bulan lalu di Palu Sulawesi Tengah. Memasuki areal masjid Al Khaerat saja Anies langsung diserbu ahbnaul Al Khairaat untuk berebut selfi dan berjabat tangan. Berbeda dengan pejabat-pejabat lain yang datang kala itu, sebagai jurnalis saya menangkap effect the next Indonesia.
Anies dinilai mampu membangun Jakarta dengan hati. Tanpa caci maki, tanpa bela sana bela sini. Anies tak ubahnya ketika media banyak menulis Walikota Solo dua periode Jokowi tiba-tiba melejit membangun Solo. Jokowi dinilai sukses membangun Solo dengan gaya sederhananya, dengan hatinya, dengan silaturahimnya. Tak segan duduk dengan tukang becak, tak segan masuk blusukan ke pasar dan lainnya. Media menemukan ‘kekasihnya’ untuk menjadi inspirasi kepemimpinan di Indonesia kala itu.
Hal itu mulai disadari kebanyakan publik. Anies dinilai mampu mempertahankan aseptibilitas, elektabilitas bahkan popularitasnya di DKI sepanjang memimpin hingga kini. Prestasi itu sangat sulit dapat dilakukan siapapun sebagai gubernur DKI. Gubernur para provinsi di Indonesia, karena DKI ibukota Indonesia. Olehnya, siapapun gubernur DKI pasti akan memperoleh progsinity dari seluruh wilayah Indonesia.
Gempuran ke Anies, analisis saya hingga kini dengan mudah dia patahkan. Bahkan cara Anies menghadapi isu yang menerpanya banyak meminjam tangan jejak elektronik media cyber sebagai komparatif. Satu persatu isu IMB, Pengadaan Bambu, dan polemik perjalanan ke LN. Tidak salah kiranya akan masih banyak peluru-peluru disiapkan untuk Anies telah menanti. ***
Oleh: Andono Wibisono