Pengabdian Panjang Berakhir dalam Istrahatmu yang Panjang

  • Whatsapp

Goresan seorang Adik untuk Kakak Seorang

Prof Dr Anhulaila M. Palampanga MP, kini telah berada pada fase awal berpisahnya “psyke” dan “me-on”. Kakak yang satu ini, begitu Panjang pengabdiannya di dunia perguruan tinggi, khususnya di Universitas Tadulako (Untad). Mengawali Pendidikan tingginya sebagai Sarjana Muda di Fakultas Ekonomi Untad, selanjutnya meneruskan ke jenjang Sarjana di Universitas Hasanuddin, adalah kebangkitan Anhulaila Muda sebagai akademisi di Bumi Tadulako, ujar Prof Dr Ir H Muhammad Basir Cyio SE, MS.

Peran dan pengabdiannya tentu saja begitu mulia dan mengantarkan banyak generasi muda di daerah ini dalam mengikuti jejak profesi dan jejak pendidikannya. Pada era, di mana Profesor Anhulaila berkiprah, keberadaan sosok Sarjana Ekonomi adalah kebutuhan mendesak yang diharapkan mampu memikirkan geliat ekonomi Sulawesi Tengah.

Bayang-bayang Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan masih menjadi harapan sekaligus andalan, namun secara perlahan pula, ekonomi lokal mulai dipikirkan oleh sosok kakak Anhulaila Bersama Anhu-Anhu lain yang sebayanya. Sebut saja Drs H Sahabuddin Mustapa MSi. Dua ekonom Sulteng ini memang dikenal sahabat kental dalam dimensi sosiologis, tetapi sering menjadi lawan diskusi dalam perspektif ilmiah. Di sinilah indahnya pelangi kehidupan.

Saya sebagai adik, dan Prof Anhulaila sebagai kakak, juga selalu berada dalam tataran komunikasi yang baik. Bahwa ada beda gagasan dan cara pandang terhadap objek yang sama, itu hanya terletak pada ketidaksamaan matra dan dimensi. Rohnya tetap satu, yakni perbedaan karena ingin mencari titik temu. Begitu menariknya kisah mencari titik, sering ada yang melihatnya ini adalah bukan golongan, kata Prof Basir Cyio.

Orang yang sering berpandangan demikian, adalah mereka yang baru bangun tidur. Tidur pemikiran dan tidur dari ketidakpahaman. Orang seperti itu biasanya dianalogkan dengan koordinator lapangan dalam aksi unjuk perasaan. Mereka terkadang lupa, perasaan itu hanya satu, yakni berperasaan yang ujungnya kita ini hendak ke mana dan mau mencari apa. Inilah perasaan yang sesungguhnya.

Kakak Anhulaila, kini tidak butuh lagi apa-apa, kecuali doa suci dari kita semua sebagai adik-adiknya. Sebagai kakak yang telah mengkanvaskan napas pengabdiannya di dunia Pendidikan tinggi, investasi beliau lebih dari cukup sebagai modal untuk mengantarkan beliau berhadapan dengan para malikat yang akan mempertanyakan banyak hal. 

Begitu malaikat sampai pada pertanyaan; “Saudara Professor Anhulaila, apa profesinya selama hidup di alam Fana?”. Maka bagian tubuh beliau akan menjawab dengan lancar bahwa profesi yang digeluti adalah guru yang senantiasa mengajarkan kebajikan dan kebaikan, baik dari aspek keilmuan maupun aspek yang berkenaan dengan hati Nurani. Allah telah menjajikan bahwa ilmu yang diamalkan akan menjadi mata air amalan suci yang tiada putus-putusnya, seiring dengan kebermanfaatan ilmu yang Kakak Anhulaila telah amalkan dan tularkan.

Indahnya profesi guru atau dosen, jika di saat mengamalkan ilmu dan menularkan keilmuan senantiasa diantarkan dengan hati yang tulus. Tanpa air mata dan tanpa derita hati yang dirasakan oleh anak didik kita. Kader Profesor Anhulaila telah tersebar di seantero negeri mengabdikan ilmu dan kebaikan yang pernah ditorehkannya. 

Lalu apa yang dikhawatirkan dengan kepergian Professor Anhulaila? Jawabnya Cuma satu: Ketidakikhlasan kita mengantarkan almarhum menghadap ke haribaan-Nya? Karena itu, ubahlah segera ketidakilkhlasan menjadi sebuah ketulusan agar arwah belia berjalan di atas kelapangan hingga sampai di sisi Allah SWT. 

Kita memang menganggap beliau menderita menjelang detik-detik kepergiannya. Pandangan itu tentu saja tidak benar. Apa yang beliau rasakan adalah fase-fase terbaik sebelum Allah berkeputusan mengakhiri pengabdian Panjang almarhum menuju peristrahatan yang Panjang pula. Terkadang kita yang salah menilai, seolah Kakak Anhulaila menderita sakit. 

Padahal beliau tidak sakit, melainkan diberi satu fase oleh Allah sebelum masuk pada fase menuju pintu. Setiap fase yang beliau jalani mendapat pengawalan ketat dari Allah. Itulah sebabnya, Almarhum Profesor Anhulaila tidak pernah merasa menyesal, karena apapun yang dilewati adalah bagian dari fase-fase kehidupan yang di dalamnya juga ada dimensi “wellness”. Yang merasakan jelas hanya beliau sendiri hingga akhirnya sampai pada etape akhir meninggalkan dunia Fana dalam bentuk proses berpisahnya “psyke” dan “me-on”.

Kini, tentu kita sudah tidak mungkin dapat berdiskusi Panjang dengan Profesor Anhulaila, namun jangan mengira yang pernah didiskusikan selama pengabdiannya akan berakhir. TIDAK. Yang berakhir itu adalah kehidupan Profesor Anhulaila tetapi buah pikiran dan gagasannya akan tetap hangat dalam ingatan dan abadi dalam pemikiran. 

Kini, kita antar beliau dengan doa jika tidak semua di antara kita mampu mengantarnya ke liang lahat, tempat peristrahatan beliau yang terakhir. Yang pasti, terakhir bukan berarti berakhir, karena proses kehidupan baru di Alam Baqa akan segera beliau mulai. Di tempat dan alam itu pulalah beliau berada dalam penantian. 

Lambat atau cepat, tidak seorangpun bisa menghindar dari pintu satu-satunya yang menghubungan kedua alam—Fana dan Baqa, yakni PINTU KEMATIAN. Selamat jalan kakak, adik-adikmu akan tetap mengiringimu dengan doa dan tetesan air mata. Berangkatlah dengan tenang, karena kepergianmu telah meninggalkan kisah kehidupan yang bermakna di dunia Pendidikan tinggi, melalui Fakultas Ekonomi Universitas Tadulako. TADULAKO—-Terkenang Akan Dedikasi Untuk Ladang Amaliah Karena Obsesi” sang Profesor.

Innalillahi Wa Inna Ilaihi Roji’uun. ***

Oleh: Prof Basir

Berita terkait