OPINI: “DIANTARA KATA DAN PERBUATAN”

  • Whatsapp
Oleh: Muhammad Khairil

Dosen Pada Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Untad

No Action Talk Only alias “nato”, demikian kita sering istilahkan bagi orang yang seolah hebat ketika bicara bahkan begitu banyak bicara namun tidak punya hasil karya dan hasil kerja yang terukur “sehebat” ketika ia bicara. Kadang juga sering kita mendengar istilah “ah teori”.

Istilah ini melekat pada mereka yang dengan mudah mengutip teori A, B hingga Z tapi begitu sulit ketika masuk pada ranah pembuktian teori. Seolah teori itu melangit, padahal ia berpijak di bumi. Dalam konteks kehidupan sosial, tidak sedikit kita berinteraksi dengan orang orang yang begitu banyak bicara bahkan cenderung kritis seolah hebat lagi sempurna.

Sangat mudah menyalahkan orang lain, merasa diri paling benar, seolah mereka adalah perpanjangan tangan Tuhan yang diberi hak untuk menetapkan kebenaran mutlak. Diantara gajah dan semut. Seringkali semut nan jauh di sana, bahkan kecil tapi begitu tampak di hadapan kita. Sebaliknya, gajah yang di pelupuk mata, seolah samar dan tak terlihat.

Begitulah kita sering menggambarkan bagi mereka yang begitu mudah mengkritik juga menyalahkan orang lain, tanpa ia sadari kesalahannya jauh lebih besar. Orang yang hanya bisa menyalahkan orang lain, menceritakan aib orang lain, sesungguhnya secara sadar telah membuka aibnya sendiri.

Diantara kata dan perbuatan. Diantara orang yang hanya bisa banyak bicara dan mereka yang banyak berbuat. Seringkali ketika kita menonton sebuah pertandingan sepak bola, lalu tim
yang kita dukung ini kalah, terlebih dalam sebuah eksekusi penalti itu gagal, maka penonton begitu mudah menyalahkan, tidak sedikit yang berteriak “bodoh”. Ironisnya, boleh jadi penonton ini menendang bola saja susah atau mungkin saja main bola pun belum pernah.

Namun, memang demikianlah peran penonton karena tidak bisa menjadi pemain maka cukup ia pun hanya duduk di kursi penonton. Kerjanya mengomentari pemain dan hanya bisa menyalahkan dengan segudang teori. Sebaliknya, pemain yang profesional justru begitu tenang, bekerja dalam diam dan menyadari bahwa orang pintar yang bijak, itu akan menilai bukan dari bicara tapi dari perbuatan.

Begitu mudah kita menyalahkan kebijakan dari sebuah sistem pemerintahan, dengan segudang teori yang dikutip dari sana sini. Ironisnya, duduk dalam sistem pemerintahan pun belum pernah. Ketika belum duduk dan berada dalam lingkar kekuasaan, begitu kritis dan bersuara nyaring namun setelah ia bagian dari kekuasaan, terdiam seribu bahasa dan ia menjadi bagian dari pelengkap penderita dari sistem kekuasaan yang ada.

Memadukan antara kata dan perbuatan, diantara seiring jalan bahasa tutur dan budaya kerja akan menumbuhkan rasa untuk tidak mudah menyalahkan orang lain, tidak sekedar mengkritik tanpa solusi, terlebih asal bicara dan “ngoceh” karena mereka percaya bahwa kualitas nilai “berlian” itu tidak akan tergantikan hanya oleh barang imitasi.

Seiring waktu, akan terseleksi oleh alam, siapa yang hanya banyak bicara, maka ia akan selalu menjadi penonton setia. Sebaliknya, orang bekerja dalam diam, seiring waktu akan menjadi bintang, bersinar bukan karena kata-katanya tapi karena perbuatannya.

Dalam pandangan Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’i yaitu seorang filsuf dan teolog muslim Persia, dikenal Algazel di dunia barat pada abad pertengahan dan pada jajaran tokoh muslim ia lebih dikenal dengan Imam Al Gazali, menggambarkan 4 golongan manusia yaitu pertama, rajulun yadri wa yadri annahu yadri, manusia yang tahu bahwa dirinya tahu.

Inilah golongan manusia yang secara sosial dapat beradaptasi dengan lingkungan sosialnya secara baik. Inilah golongan yang bekerja secara profesional, yang memahami nilai normatif dan substansial dari sebuah proses sosial. Kedua, rojulun yadri wa laa yadri annahu yadri, yaitu seseorang yang tahu tapi dirinya tidak tahu.

Sesungguhnya banyak orang yang punya kemampuan tapi karena rasa percaya diri yang rendah, maka ia selalu merasa diri tidak mampu dan tidak bisa. Sungguh potensi yang ada dalam dirinya besar namun ia terbatas menyalurkan potensi itu sesuai dengan kemampuannya.

“Sebenarnya engkau punya kemampuan, sayang kalau tidak diberdayakan. Sayang kalau potensi itu di sia-siakan”. Begitulah bahasa bijak untuk membangkitkan potensi diri orang yang punya kemampuan namun tidak diasah dengan baik. Orang yang mampu tapi tidak memiliki rasa percaya diri maka ia hanya menjadi pemain “belakang layar” dan menjalani hidupnya bagai rumput hijau, namun seringkali diabaikan bahkan “diinjak”.

Ketiga, rojulun laa yadri wa yadri annahu laa yadri, yaitu seseorang yang tahu batas kemampuannya bahwa karena ia tidak tahu maka ia selalu introspeksi dan mau belajar untuk tahu. Dalam konteks pembelajaran, kita sering mendengar istilah learning by doing, orang banyak belajar dari apa yang dialami. Keledai saja tidak akan jatuh lagi pada lubang yang sama, apalah lagi kita manusia, masa kalah sama keledai.

Belajar dari kesalahan dimasa lalu dan pengalaman adalah guru terbaik dalam kehidupan. Orang yang tadinya begitu kita percaya lalu ia berkhianat, maka kepercayaan kita tidak hanya menurun juga mungkin saja sirna, bagai luka yang walau sudah sembuh masih meninggalkan bekas, terkadang masih terasa sakit. Begitulah kita belajar dari kehidupan. Memaafkan bukan berarti kita melupakan masa lalu, tapi menjadikannya pelajaran berharga untuk berhati hati di hari esok, dengan harapan nasib kita bisa lebih baik dari “seekor keledai”.

Pada golongan manusia keempat, dalam pandangan Al Gazali adalah rajulun laa yadri wa laa yadri annahu laa yadri, manusia yang sungguh terlahir merugi bahkan teramat merugi karena.

sungguh ia tidak tau bahwa ia memang tidak tahu apa-apa. Dalam bahasa yang lebih ekstrem kategori manusia ini disebut telah tertutup mata, telinga dan hatinya. Seringkali golongan ini juga menggunakan prinsip “pokoknya”. Pokoknya saya yang benar, yang lain salah. Pokonya saya bicara, bahwa itu benar atau tidak, tidak peduli. Pokonya saya kritik, ada fakta atau tidak, yang penting saya kritik.

Manusia yang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu, ibarat ia tidak bisa berenang lalu tidak menggunakan pelampung dan melompat pada kolam renang yang dalam. Akhirnya hanya menyusahkan orang lain, perbuatannya pun memalukan dan akan menjadi bahan cerita yang dijadikan lelucon sesama temannya.

Bagai orang yang berbicara banyak, tapi ia tidak sadari apa sesungguhnya yang ia bicarakan. Bagai orang yang seolah kritis, namun ia tidak memahami persoalan yang sebenarnya. Bagai katak dalam tempurung, seolah merasa besar, padahal ia berada pada tempurung yang kecil, sempit dan hanya dirinya sendiri. Ia pun berbunyi nyaring pada tong yang kosong.

Siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya, diungkap oleh Yahya bin Mu’adz ar Razi, seolah ulama pada abad ke-3 H. Tidak perlu kita berfikir melangit untuk mencari hakekat ketuhanan, terlebih seolah menjadi utusan tuhan di muka bumi. Cukup kita bercermin, tidak hanya untuk melihat diri secara fisik, namun memahami siapa diri kita yang sesungguhnya yaitu mahluk yang lemah, jauh dari sempurna, penuh keterbatasan, lalai dan khilaf.

Diciptakan untuk menjadi manusia yang lebih baik dengan menebar kebaikan, keselamatan dan juga memberi manfaat. Sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat terhadap sesama manusia bahkan untuk seluruh alam. Salah satu kebaikan kita adalah memilih diam untuk sesuatu yang kita tidak ketahui atau kita pun akan terdiam atas sesuatu yang hanya menyakiti hati orang lain.

Sebagai penutup dari tulisan ini, dengan begitu bijak Ali Bin Abi Talib membahasakan antara cinta dan kebencian dengan bahasa yang sederhana, “tidak perlu menjelaskan tentang dirimu pada siapapun, karena yang mencintaimu tidak membutuhkan itu dan yang membencimu
tidak akan percaya itu”.

Tidak perlu bicara banyak terlebih andai itu hanya akan menyakiti dan membuka aib orang lain karena tidak akan berguna bagi mereka yang mencintai. Sebaliknya, bagi para pembenci, aib orang bagai semut diseberang lautan, walau kecil akan selalu tampak di pelupuk mata. ***

Berita terkait