Oleh : andono wibisono
HIDUP Kadang seperti sisi mata uang. Kita memiliki otoritas untuk memilih. Hitam – putih, baik buruk, dan kerja atau mati kelaparan. Tiga bulan ini awan mendung mendera rakyat Indonesia yang hidup kondisi serba kesulitan. Hidup pas – pasan bahkan kekurangan, kerja serabutan atau hanya buruh kasar. Makin sulit ketika wabah menghadang.
Syahrir, asal Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan. Niat untuk mencari kerja sebagai tukang bangunan pembangunan masjid Agung Kota Palu. Ia bersama – sama kawannya rela meninggalkan kampung halaman. Tak peduli ancaman virus korona.
Dengan menumpang bus angkutan melewati Sulawesi Barat untuk menuju Palu. Di tengah perbatasan memasuki Kota Palu, bus yang ditumpangi diperiksa tim penjaga perbatasan. Semua dilakukan tes kesehatan.
Syahrir, menurut Winda, relawan Tim Gugus Tugas Covid Palu sempat dilakukan Rapid test. Hasilnya reaktif. Oleh tim dibawa ke Tempat Perawatan Asrama Haji. Sekira 9 Juni lalu. Tanggal 14 Juni 2020 ia di Swab test. Hasilnya positif. Ia pun kembali dibawa ke Rumah Sakit Umum Anutapura Palu (RSAP).
Selama di isolasi, Syahrir selalu meminta pulang. Ia mengeluh dan Curhat bahwa ia mau bekerja demi mencari uang untuk biaya kelahiran jabang bayinya. ‘’Istrinya mau melahirkan kasian. Ia minta pulang ke Makassar. Tapi siapa mau antar,’’ kata Plt Direktur RSAP, drg Heri Mulyadi.
Syahrir. Seorang ayah yang bertanggung jawab. Ia mencari uang demi ongkos kelahiran anak dan keselamatan istri tentunya. Bahkan dengan sadar walau divonis terjangkit virus covid 19, ia tak peduli. Ia nampak sehat dan tidak menunjukkan gejala yang membahayakan.
Syahrir, salah satu warga negara Indonesia. Memiliki hak atas kesehatan dan kehidupan di negaranya. Tapi, nasib ingin mencari kerja malah ditimba wabah. Ia pun rela memilih untuk terus kerja. Walaupun ia sadar, hidupnya dalam bahaya.
Syahrir pasti imunitasnya menurun karena deraan beban hidup dan sosial. Bahkan, ia memiliki beban psikologis atas nasib istrinya yang akan lahiran anak bayinya. Lantas apakah ia berhak disalahkan?
Syahrir, adalah potret Indonesia masa kini. Indonesia di alam modern dan digitalisme sosial kebangsaan. Berita kaburnya dari rumah sakit, subtansinya adalah kabar ke Negara bahwa ia adalah salah satu rakyat Indonesia yang sengsara.
Kasus Syahrir negara sebaiknya meletakkan diri pada kewajiban subtansial konstitusi. ‘’Negara wajib menjamin kehidupan layak bagi rakyatnya’’ – inilah manivestasi Pancasila. Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Syahrir, adalah contoh bahwa sikap kita sudah terdegradasi oleh horor korona hingga lupa pada problem subtansialnya. Ia sebenarnya dibawa oleh Tuhan untuk menegur kita soal ibadah sosial. Saling memberi berkat pada orang lain. Saling kasih sayang. ***