Oleh : andono wibisono
Palu,- Jajanan pasar di tengah kota itu ramai. Mulai kusir dokar, penjaga toko dan warga duduk di kurs kayu panjang. Burasa plus sambel du’o, ikan kecil sebangsa teri tapi lunak terus aku kunyah.
Sejak menginjak kaki di kota kelor ini, kuliner paling aku gemari. Bahkan usai taraweh ramadhan hanya butuh waktu tiga menit dari rumah kakak tertua di Jalan Sungai Lewara, Ujuna tepatnya Masjid Taqwa ke lokasi ini. Keakraban warga sekitar makin menambah nyaman nongkrong bareng menikmati jajanan malam perempatan Jalan Gajah Mada – Teuku Umar hingga Jalan menuju Palu Plaza.
Perempatan paling ramai dan disebut pusat keramaian, setelah komplek pertokoan Jalan Hasanuddin. Deretan toko – toko baju, sepatu dan koleksi model busana yang lagi tren terpajang di sekitar Jalan Gajah Mada Palu. Bila pagi hingga sore, jalan ini juga ramai toko kelontong menjual berbagai alat sepeda motor, arloji, hingga sampai di ujung menuju jembatan 1 Palu. Bahkan, katanya dulu ada bioskop di sekitar jalan itu. Namanya bioskop Benteng. Saya tak sempat menonton. Karena 1991 saya tiba di Palu, bioskop itu sudah tutup.
Jalan Gajah Mada inilah tempat satu – satunya untuk mengusir kerinduan tanah kelahiran Surabaya. Karena namanya Gajah Mada – nama panglima perang Kerajaan Majapahit, yang secara psikologis tidak tau mengapa membuat saya seperti di Surabaya. Kedua; jalan ini ramai lalu lalang kendaraan dan deretan toko – toko menjual aneka ragam. Ya keramaian itu ‘membunuh’ rindu saya ketika awal awal merantau kuliah ke Palu.
Tinggal hampir dua tahun dengan kakak di Ujuna menjadi akrab dengan warga sekitar. Bahkan para penjual di toko – toko arloji perempatan. Usai menikmati burasa dan sambel ikan du’o, saya pun nongkrong bersama mereka. Ya namanya perantau, harus bisa bergaul kalau ingin banyak teman, begitu pesan almarhum ayah. ‘’Kalau mau hidup di rantau harus banyak saudara. Bergaul yang baik. Jadilah anak laki laki yang sempurna di mata ayah. Jangan pulang, kalau belum sukses,’’ kata almarhum di Pelabuhan Tanjung Perak ketika mengantar saya menaiki KM Kambuna, Pelni. Air mata meleleh bila mengenang itu semua.
Kini, hampir 20 tahun berlalu. Ketika arus Lalin diubah, akibat jumlah kendaraan dan ruas jalan nasional di Palu tak bertambah, keramaian Jalan Gajah Mada mulai hilang. Banyak toko gulung tikar. Penjual jajanan malam itu entah kemana? Tak satu pun generasinya mau meneruskan usaha ‘jajanan’ yang sebenarnya cash flownya cukup untuk keluarga dan menyekolahkan anak – anak. Tapi situasi kondisi sebagai pusat keramian sebagai sumbu ekonomi bergeser. Hilang dan sepi.
Sepekan lalu, kembali menyusuri jalanan itu. Berlubang, becek akibat drainase yang tak terurus meluap setiap hari mengenangi jalanan. Usaha toko – toko mengeluh. Sepi akibat ekonomi lesuh juga makin lengkap karena suasana dan kondisi jalanan becek, rusak berlubang hingga menebar bau tak sedap. Malam hari Jalan Gajah Mada menjadi horor bagi pengendara roda dua terlebih pejalan kaki bila jarum jam menunjuk angka sembilan malam.
Lengkap lampu jalanan setiap malam padam. Beberapa toko tutup lebih awal.
‘’Mau lama – lama nunggu siapa? Tidak ada pembeli Pak. Kita buka pagi sampai habis Isya. Tidak berani kita buka malam, jalan rusak bau air got. Mana lampu jalan mati,’’ ujar penjaga toko sepatu khas Jalan Gajah Mada Selasa pagi (10 Nopember 2020 lalu).
Dalam beberapa pekan tiap malam saya menyusuri Jalan Gajah Mada Palu. Hati terenyuh mengingat senyum penjual jajanan malam ketika menyambut piring dan burasa pilihan saya. Hati saya terobek robek melayang terbuang mengingat kawan – kawan penjajah arloji dan kain di perempatan jalan itu. Meringih suara kuda kusir dokar pun hilang entah kemana.
Perempatan Jalan Gajah Mada Palu. Dulu lebih maju dan memberi harapan kemajuan bagi warga Ujuna dan sekitarnya. Memberi harapan anak – anak mereka mengantungkan cita – cita hingga ke bintang. Kini? Berubah menjadi sunyi, gelap, berlubang dan bau amis air selokan. Bersamaan dengan itu pasti harapan itu pergi. Cita – cita pasti tak sudi. Yang ada hanya tarian sunyi.
Perempatan Jalan Gajah Mada Palu. Dulu lebih maju dari pada dua puluh tahun berlalu. Negeri ini seperti tak diurusi. Untungnya warganya banyak mengerti. ***