Catatan Redaksi
Tahap Rehabilitasi dan rekonstruksi bencana Pasigala September 2018 lalu, dimulakan Nopember 2018. Hal itu sesuai arahan Wakil Presiden Jusuf Kalla saat itu.
Dikutip dari kompas.com “Pemerintah Provinsi Sulteng sudah berkoordinasi dengan Pemkot Palu dan Pemda Sigi dan Donggala terkait lahan huntara (hunian sementara) bagi korban yang kehilangan rumah,” kata Kepala Pusat Data, Informasi dan Hubungan Masyarakat BNPB Sutopo Purwo Nugroho di kantor BNPB, Utan Kayu, Jakarta Timur, (10/10/2018).
Bahkan dalam laman media dia itu disebutkan bahwa relokasi korban Balaroa akan disiapkan di Kelurahan Duyu. Sedangkan Petobo di Ngata Baru. Itu diucapkan Sutopo Puwo Nugroho, Kepala Pusat Data, Informasi dan Hubungan Masyarakat BNPB RI.
Seiring waktu hingga sekarang, Maret 2021 atau telah memasuki tiga tahun bencana, pelik dan polemik serta krusial pembangunan hunian tetap di wilayah Tondo II dan Talise belum selesai. Kasusnya soal lahan dan pengakuan warga atas lahan yang diklaim miliknya. Sesuai ketentuan penyiapan lahan adalah kewajiban pemda setempat. Yaitu pihak Pemkot Palu.
Di sisi lain, sesuai Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2018 tentang Percepatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi pascabencana dan gempa bumi dan tsunami di wilayah Sulawesi Tengah dan daerah terdampak lainnya memiliki batas kedaluarsa. Sesuai Inpres Nomor 10 itu batasnya adalah 28 Desember 2020 lalu.
Namun, karena masih bengkalai tahapan itu, Gubernur Longki Djanggola sempat menitip surat ke Presiden Jokowi lewat Kepala BNPB RI Donny Monardo ketika lawatan ke Palu medio 2020 lalu. Kabarnya hingga sekarang surat gubernur belum ada respon dari presiden.
Dimana posisi kementerian pekerjaan umum dan perumahan rakyat (PUPR) RI dan jejaringan Balai Prasarana dan Permukiman Wilayah (BPPW) Sulteng atas peristiwa ini? Benarkah ini sepenuhnya kerja Pemkot yang tak mampu menyiapkan lahan? Apakah Huntap yang telah dibangun oleh Budha Suci fasilitasnya telah disiapkan dengan baik oleh BPPW Sulteng? Buktinya soal air bersih di lokasi Huntap Tondo 1, masih berkilah sedang diusahakan. Keterlambatan itu diakui Humas dan Publikasi BPPW Sulteng, Eko Prasetyo ke kailipost.com tempo hari.
Negara dituntut hadir atas penghentian pembangunan Huntap sebuah keniscayaan. Karena tak lama lagi penyintas akan memasuki bulan puasa ramadhan dan Idul Fitri. Janji selalu manis di bibir.
Sebagai pihak yang bertanggung jawab atas tahap rehabilitasi dan rekonstruksi, BPPW Sulteng tak bisa ‘cuci tangan’ dan menyerahkan ke pemda saja. Mengingat, bukan hanya pembangunan Huntap yang bermasalah. Pembangunan kantor Kejati Sulteng juga ‘terlunta – lunta’ akibat ada redesain. Begitu juga soal pembangunan kampus IAIN Palu blok Jalan Cumi-cumi yang diduga belum memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Bila dirunut memang BPPW Sulteng perlu melakukan evaluasi menyeluruh. Pentingnya pihak kementerian PUPR segera memonitoring dan mengevaluasi. Kedua memastikan alas hukum tahap rehabilitasi dan rekonstruksi yang masa berlaku Inpres Nomor 10/2018 telah habis.
Evaluasi dapat dilakukan secara internal dan eksternal. Internal perlu menelaah managemen dan kendali perencanaan, pelaksanaan program, dan monev. Demikian juga eksternal. Pelaksnaan program pihak ketiga, monitoring dan evaluasi sesuai ketentuan. Managemen umum pasti dimiliki oleh pemimpin atau pengendali sebuah organisasi sebesar BPPW Sulteng.
Bila tidak, maka managemen internal pasti amburadul. Karena tak berbasis kemampuan managemen tehnis, kemampuan tugas dan kemampuan pengendalikan dan menjalankan fingsi. Begitu juga managemen eksternal dan hubungan ke publik pasti tak jauh berbeda.
Jangan salahkan bila publik akan terus mengawasi kinerja para pelayan penyintas tersebut. Wajar sudah menjelang tiga tahun sabar. Yang jelas, penghentian pembangunan Huntap pasti ada ‘masalah’ hingga dihentikan. Jangan saling menunjuk. Bisa jadi kelemahan itu justru di pundak orang yang dipercaya mengurus secara tehnis Huntap. ***