Lelaki berumur (47) itu terlihat sibuk mengayunkan sekop menaikkan pasir ke atas truk di Sungai Lewara Palupi Kecamatan Tatanga Kota Palu. Sesekali ia membenarkan posisi topinya yang sering miring. Ia terlihat begitu ceria, meski pun hanya menjadi seorang penambang pasir tradisional.
Tak mengenakan baju dibawah terik cuaca begitu panas, buruh penambang pasir itu tetap bekerja giat. Semua dilakukan demi memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga.
Sebut saja Suadi. Ia adalah warga Pengavu. Pria kelahiran 1974 itu begitu bersemangat menyekop pasir timbunan yang ada di Sungai Lewara Palupi tersebut.
Baginya itu merupakan makanan setiap harinya demi menghidupi istri dan keempat anaknya. Suadi harus menyekop dari pukul 8 pagi hingga setengah enam sore.
“Modalnya cuma sebuah sekop yang menemani pekerjaan saya,” kata Suadi ketika ditemui Kaili Post, Kamis (27/5/2021).
Tidak kurang 10 tahun, Suadi menjadi ‘buser’ (buruh Sero – Sero dari bahasa Kaili yang berarti Sekop) di Sungai Lewara.
Sebelum, menjadi buser, ia berkebun di Desa Malino Donggala.
Menjadi penambang pasir tradisional, kata Suadi, memang terlihat mudah. Namun sebenarnya tidak demikian. Seorang buser, istilah yang digunakan para penambang pasir tradisional, harus kuat menyekop pasir ke atas truk sampai penuh, yang memerlukan waktu sekira setengah jam lebih.
Dalam satu hari, biasanya hanya mampu mengisi penuh pasir ke dalam lima buah truk. Karena satu truk digotong royong para buser sebanyak 4-6 orang.
Tak peduli hujan atau panas, harus tetap bekerja di lapangan. Kerja panas-panasan atau hujan-hujanan itu akan membuahkan hasil yang baginya menggembirakan. Pendapatan bisa sampai Rp 80-90 ribu per hari ketika ada truk yang memesan. Hanya saja tak selamanya manis. Kadang kalau air sungai meluap, terpaksa harus istirahat dulu sampai berhari-hari.
“Saya turun kerja sejak pukul 07.30 Wita hingga pukul 17.30 Wita. Kadang hasilnya sangat bagus, tapi kadang tidak cukup. Tapi tetap saya syukuri,” kata Suadi.
Satu truk pasir dihargai sebesar Rp120 ribu. Jika empat orang buser yang gotong royong, masing-masing memperoleh Rp30 ribu.
“Itu kalau truk memesan banyak. Kalau kurang, ya, kita gotong royong sampai enam orang”, tambahnya.
Suadi bercerita, agar pekerjaan para buser ini tetap berlanjut, mereka melarang alat berat dari perusahaan mengeruk pasir dan mengangkutnya ke truk.
Di aliran sungai Lewara dari Palupi sampai bendungan misterius Balane, Suadi tidak sendiri. Ada puluhan buruh angkut pasir lain yang kehidupannya tak jauh beda dengannya. Mereka selain berasal dari Pengavu, juga ada dari Palupi, bahkan dari wilayah Sigi dan Donggala.
Suadi menyebut aliran Sungai Lewara membawa berkah. Timbunan pasir yang berasal dari hulu sungai seakan tidak pernah ada habisnya dikeruk. Hampir semua bangunan di Kota Palu dan Donggala menggunakan timbunan Palupi sebagai dasar di pondasi bangunan.
Tahun lalu, ketika pandemi Covid-19 sedang tinggi-tingginya di Palu, pendapatan penambang pasir sedang berkurang. Oleh sebab itu, sebagian besar memutar otak mencari pendapatan tambahan. Dituturkannya, Alhamdulilah saat ini keadaan sudah berlangsung agak normal.
Sampai kapan bekerja menyekop pasir, Suadi tidak begitu pasti dapat menerka. Menurut dia, selama ada permintaan jasa mengangkut pasir dirinya akan tetap bekerja demi memenuhi beban kebutuhan keluarga. ***
Reportase: Ikhsan Madjido