Menyoal Tagline “PAKAROSO”, Tak Konek dengan Target PON Sulteng

  • Whatsapp

PALU – “Pakaroso kente, pakaroso rara, pakaroso vuku, pakaroso tampa”. Itulah beberapa ujaran dalam bahasa Kaili yang bermakna memperkuat, mempererat posisi atau suatu keadaan.

Untuk menambah semangat atlet berlaga di PON XX Papua Oktober 2021, KONI Sulteng menetapkan tagline “PAKAROSO”.

Pada PON XX Papua itu, Sulteng mengirimkan 60 atlet dari 18 cabor yang diikuti dengan 30 orang pelatih dan official.

Para atlet itu masing-masing berasal dari Kabupaten Sigi 12 orang, Banggai Kepulauan 2, Parigi Moutong 2, Poso 6, Donggala 4, Banggai 2, Buol 4, Tolitoli 2, Morowali 3, Tojo Una-una 1 dan Kota Palu sebanyak 22 orang.

Pakaroso! juga dimaknai merupakan semangat yang tercermin dari kemampuan kontingen PON Sulteng dalam beradaptasi pada kondisi pandemi. Setiap kegiatan dari pemusatan latihan atlet sampai gelaran PON akan selalu mengedepankan protokol kesehatan yang ketat.

Selain slogan Pakaroso, sejumlah bonus pun disiapkan penambah motivasi atlet bertanding merebut medali emas dan memperbaiki peringkat dari papan bawah naik ke posisi lebih bagus.

Sebut saja bonus atlet yang mendapatkan medali emas dari Pemrov Sulteng sebesar Rp250 juta, dan juga dari PT Pembangunan Sulteng yang memberikan hadiah rumah subsidi.

Pemerintah Kota Palu juga menyediakan hadiah Rp100 juta bagi atlet asal Kota Palu jika berhasil menyabet Medali emas dalam ajang PON Papua.

Ketua KONI Sulteng Nizar Rahmatu mengatakan kalau hal itu sesuatu apresiasi yang luar biasa, kemajuan yang luar biasa, mari kita membuat sejarah, ucap dia.

Namun, penggunaan tagline Pakaroso seakan terbalik 180 derajat dengan dukungan penambah semangat dan motivasi atlet berlaga di PON Papua.

Pasalnya makna Pakaroso seperti disebut dalam Kamus Bahasa Indonesia – Kaili adalah perkuat, pererat, atau perkokoh. Bukan diartikan sebagai kekuatan untuk mencapai sesuatu, tapi lebih kepada kekuatan untuk mempertahankan sesuatu.

Sebagai penutur asli bahasa Kaili, penulis jadi teringat ketika berlatih bela diri Silat lokal Sulteng yang biasa disebut dengan “Kontao” (kemungkinan berasal dari Cina?).

“Naroso mo le. Naroso mo kuda-kuda?. Pakaroso mami mo”, kira-kira begitu kata sang guru beberapa puluh tahun lalu.

Hanya ada dua kemungkinan saat diuji kekuatan kuda-kuda beladiri, tumbang atau goyang dan tetap bertahan dengan posisi. Kalau tidak tumbang berarti sang murid narisi, bukan disebut naroso.

Olehnya ujaran Pakaroso sepertinya kurang pas untuk tagline olahraga. Pakaroso atau pakarisi hanya cocok saat melakukan persiapan dan pemusatan latihan kontingen PON Sulteng saat ini, dan sangat tidak cocok dibawa ke Papua.

Mengingat Sulteng pada PON sebelumnya berada pada posisi juru kunci. Maka, dengan Pakaroso (perkokoh, pererat) ditafsirkan mempertahankan posisi itu. Sungguh, kata ini, yang merupakan do’a, sangat tidak konek dengan semangat memperbaiki peringkat PON.

Padahal masih ada ujaran PAKALEVA, PAKABITE, PAKAGANA, PAKAHEBA, PAKAKANCA, PAKASOPO, PAKASAMPE, PAKARIMBUKU, PAKASOVA, PAKADUPA, PAKASANGGA, yang bisa digunakan.

Yang lebih tepat menurut penulis adalah PAKADUPA (mewujudkan), bermakna tekad untuk mencapai sesuatu.

Pakadupa jadi motivasi bersama. Ikrar untuk meraih prestasi yang didambakan bersama.

Entah dari mana asal muasal kata Pakaroso dijadikan tagline kontingen PON Sulteng.

Jurnalis Kailipost.com: Ikhsan Madjido

Berita terkait