Palu,- Ikatan Perencanaan Indonesia (IAP) Sulteng, Senin (9/5/2021) di Tanaris Cafe, Kota Palu, merilis pernyataan sikap kepada Media, terkait pembangunan jembatan Palu IV yang saat ini dalam tahap pembebasan lahan. IAP Sulawesi Tengah merasa terpanggil untuk menyampaikan sikap terkait Penataan Kota Palu, Pasca Bencana Alam 28 September 2018 silam, termasuk diantaranya soal rencana Pembangunan kembali jembatan yang menjadi Ikon Kota Palu tersebut.
Ketua IAP Provinsi Sulteng Wildani Pingkan Suripurna menilai, bahwa pembangunan kembali jembatan Palu IV yang rusak usai diterjang Tsunami dan Gempa 28 September 2018 silam harus memperhatikan aspek Budaya dan Sejarah. Jika melihat lebih jauh, secara alamiah hal ini telah membuka mata kita bahwa Kota Palu adalah kota yang sarat dengan ilmu pengetahuan kebumian. Olehnya sangat penting untuk melestarikan kawasan eks jembatan Palu IV baik sisi barat maupun timur dengan tetap mempertahankannya menjadi Situs Sejarah Kebencanaan Kota Palu, yang menjadi salah satu landmark dalam menjadikan Kota Palu sebagai lokasi penelitian kebencanaan baik peneliti Nasional maupun Internasional. Begitu juga daerah sekitar agar segera dapat ditata secara ekologis dan berkelanjutan.
Dirinya dalam kesempatan ini, menghimbau kepada pengambil kebijakan untuk melakukan prioritas penataan Kawasan Segitiga Sejarah Kebencanaan Kota Palu secara ekologis dan berkelanjutan. Karena, jika melihat dan memperhatikan Rencana Pembangunan Kembali Jembatan Palu IV, hal ini tentu dapat menyebabkan hilangnya Eks Jembatan Palu 4 lama yang merupakan situs sejarah kebencanaan.
Sementara itu, Koordinator Komunitas Historia Sulawesi Tengah (KHST) Moh. Herianto menyampaikan hal yang sama, untuk memohon kepada pengambil kebijakan agar fisik eks Jembatan Palu IV, baik di sisi timur maupun di sisi barat tetap dipertahankan sebagai situs sejarah kebencanaan Kota Palu, dan lingkungan sekitarnya agar segera dapat ditata secara ekologis dan berkelanjutan.
“Jika jejak bencana sebelum 28 September 2018 hampir tidak lagi dapat kita temukan, jejak bencana 28 September 2018 masih ada di sekitar kita dan masih bisa dilihat. Namun, pembangunan kembali jembatan di lokasi Jembatan IV, akan menghilangkan salah satu jejak bencana tersebut,” ungkapnya.
Beberapa hal yang menjadi pertimbangan diberikan oleh IAP Sulteng, yakni: Pertama, Pasca bencana alam 28 September 2018, Kota Palu harus mampu ditata berbasis sejarah, potensi, dan daya dukung fisik kota, dengan memperhatikan resiko Kota Palu yang rawan terhadap bencana alam. Untuk ini telah hadir konsep Taman Bumi atau Palu Geopark City untuk penataan ulang Kota Palu yang berkelanjutan.
Kedua, Kota Palu kiranya ditata sebagai kota sumber ilmu pengetahuan kebumian yang resilient, ekologis, dan dibangun sebagai kota modern dengan suasana hikmat. Sebuah kota yang ditata ulang dengan masyarakat yang cerdas dan maju dengan bekal spirit sejarah kota yang terawat dengan baik dalam ingatan dan juga terawat baik dalam kehidupan keseharian. Penataan kota yang dilakukan diharapkan dapat menghadirkan warisan sejarah yang asli di tengah kota dengan bukti situs sejarah yang dapat dirawat berkelanjutan untuk saat ini dan masa depan.
Ketiga, Bencana alam 28 September 2018 merupakan bagian dari sejarah Kota Palu. Merupakan sejarah kebencanaan yang dahsyat bagi masyarakat Kota Palu dan sekitarnya. Terjadi bencana alam secara bersamaan: gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi.
Keempat, Bencana Alam yang disebutkan pada point 3 telah merobohkan Jembatan Palu 4 yang merupakan Landmark Kota Palu.
Kelima, Akibat bencana alam 28 September 2018 secara alamiah lahir Segitiga Sejarah Kebencanaan Kota Palu yang berlokasi di: Pesisir Teluk Palu (Lokasi Eks jembatan Palu 4 merupakan pusatnya) – Area Nalodo (Likuefaksi) Balaroa – Area Nalodo (Likuefaksi) Petobo.
Keenam, Eks Jembatan Palu 4 yang terletak di antara muara Sungai Palu dan Teluk Palu merupakan Situs Utama Sejarah Kebencanaan Kota Palu.
Ketujuh, Eks Jembatan Palu 4 ini sangat layak untuk dilestarikan kemudian kawasan ini di tata menjadi Center of Tsunami Memorial Park dan merupakan ‘magnet’ dalam geowisata sejarah kebencanaan Kota Palu bersamaan dengan upaya konservasi untuk penataan Area Nalodo (Likuefaksi) Balaroa-Area Nalodo (Likuefaksi) Petobo.
Kedelapan, IAP menyarankan juga untuk melakukan pendataan situs-situs kebencanaan lainnya di Kota Palu, yang layak untuk dilestarikan dan ditata dengan sebaik-baiknya sebagai Warisan Sejarah.
Kota Palu tak terbantahkan merupakan laboratorium kebumian dengan skala 1:1 yang segera dapat digunakan dengan sebaik-baiknya untuk mengembangkan ilmu kebumian khususnya kebencanaan sejenis dan spesifik. Kejadian ini juga beriringan dengan menguatnya peran geowisata, potensi Kota Palu sebagai kota wisata dengan 5 dimensi bentang alam. Untuk itulah sejarah kebencanaan Kota Palu sangat penting dirawat, sehingga ingatan ini akan terus hadir di masa yang akan datang. Upaya merawat keaslian sejarah salah satunya adalah dengan melestarikan situs sejarah tersebut.
IAP sendiri merupakan organisasi Profesi yang merupakan wadah berhimpunnya segenap ahli perencanaan wilayah dan kota di Indonesia yang terbuka, baik secara perorangan dan asosiasi, yang berupaya untuk terus membantu mewujudkan tata kelola perkotaan yang baik dan mengembangkan peranan yang bermakna dalam meningkatkan kualitas pembangunan kota dan wilayah, termasuk penataan Kota Palu Pasca Bencana 28 September 2018. IAP di Sulawesi Tengah sendiri hadir dan berdiri sejak 21 November 2019 silam, yang dikukuhkan pendiriannya pada Kongres Nasional Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia di Bali. ***
Reporter: Idham