Jakarta,- Secara nasional, terjadi penurunan prevalensi stunting dari 24,4% (2021) menjadi 21,6% (2022). NTT menjadi provinsi dengan prevalensi tertinggi. Menurut laporan Surveilans Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022, angka ini mencapai 35,3%, melebihi target nasional 14% yang ditetapkan untuk 2024. Tingginya angka stunting di Indonesia berimplikasi serius terhadap kegagalan dalam mencetak generasi emas pada 2045, juga membawa ancaman besar terhadap pembangunan berkelanjutan dan kemajuan ekonomi.
Anggota Komisi IX DPR RI, Rahmad Handoyo, menyoroti penanganan stunting di Indonesia yang belum optimal. Ia pun meminta, agar pemerintah dapat melibatkan masyarakat untuk mendorong program stunting. Lanjutnya, masyarakat perlu dilibatkan lantaran program stunting, seperti penyediaan makanan-makanan bergizi untuk anak di daerah-daerah kerap di bawah standar. (beritasatu.com, 1/12/23)
Padahal, selama ini pemerintah sudah menganggarkan dana yang cukup besar untuk menangani masalah tersebut. Menurut Menkeu Sri Mulyani, pemerintah menggelontorkan dana senilai Rp77 triliun. Sayangnya, berdasarkan laporan yang diterima hanya Rp34 triliun yang tepat sasaran. Sisanya justru dipakai untuk kegiatan nyeleneh, seperti rapat koordinasi dan pembangunan pagar puskesmas. (CNN Indonesia, 24-3-2023).
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany, mengungkapkan adanya indikasi penyelewengan dana penanganan stunting (kekurangan gizi pada anak) di tingkat daerah. Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga sebelumnya mencatat bahwa dana stunting di suatu daerah ada yang digunakan untuk keperluan rapat dan perjalanan dinas. Penyelewengan dana stunting terkait dengan perilaku korupsi di kalangan pejabat Indonesia, yang menjadi salah satu penyebab lambatnya penurunan prevalensi stunting. Di tambah lagi ada daerah yang menyediakan menu yang tidak layak untuk anak dalam program penanganan stunting.