Karena masih baru di kampung bawaan premannya di Jakarta masih kental. ‘’Kalau tidak dikasih kerjaan saya marah. Papanya Rohani namanya Pak Hafid biasa yang panggil suruh diam. Nanti ada kerjaan lain baru saya diam hahaha,’’ ceritanya menerawang dalam sebuah kesempatan menyeruput kopi dengan sosok yang penulis kagumi.
Mengapa mudah sekali memberi sesuatu ke orang? ‘’Begini dek,’’ jawabnya lirih. Manusia datang bawa apa di dunia ini? Coba kamu jawab, ujarnya mengawali dengan bibir bergetar. Pulang nanti bawa apa? Lantas untuk apa menjadi beban pertanyaan Pencipta di alam akhirat?
Begitu juga jabatan. Ia pun cerita bertemu dengan ratusan kepala desa dan lurah di Kabupaten Donggala. Ia berwasiat, pertama kali ditanya Allah SWT soal jabatan adalah untuk apa jabatanmu? Kamu apakan jabatanmu kalau masih ada orang miskin di desa? Masih ada yang gizi buruk di desa? Tidak sekolah anak di desa itu? Setelah kades diminta tanggungjawab nanti bupatinya lantas gubernurnya. ‘’Itu yang saya takuti,’’ ceritanya mulai basah kelopak matanya.
Beberapa cerita soal kedermawanannya tidak ada duanya tokoh yang satu ini. Pernah menjual mobil open mini busnya hanya untuk membiaya Persipal, saat masih anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tengah. Dan setelah menikah dengan Dr Vera Rompas dan dikarunia putra, sapaan akrabnya Ary, Sultan dan Malikul, sifat pemberi dan penolongnya tak bergeser satu inci pun.
‘’Kenapa dikase lagi itu orang kak. Tadi komiu sudah kase di depan mobil,’’ tanya saya satu kesempatan saat meninjau pembangunan pelabuhan Wani di Donggala. Pertanyaan ini saya ajukan di dalam mobil jabatannya gubernur.