Tak hanya itu, Rifqi menyebut ada juga peraturan yang menyebutkan tahapan pelantikan waktunya bisa dilakukan setelah penetapan KPU. Dalam hal ini, jika menunggu putusan MK, maka ada kecenderungan melanggar ketentuan 2 pasal undang-undang.
“Di sisi lain Undang-undang nomor 7 tahun 2017 Pasal 160 dan 160 a menyebutkan bahwa tahapan pelantikan itu adalah suatu konsekuensi dari penetapan yang telah dilakukan KPU di provinsi, Kabupaten, kota, yang waktunya telah diatur sedemikian rupa sehingga kalau menunggu putusan MK usai semua pada sekitar pertengahan Maret 2025, maka ada kecenderungan melanggar ketentuan 2 pasal undang-undang,” ujar Rifqi.
Sebelumnya, muncul opsi kepala daerah yang tidak bersengketa di MK agar dilantik lebih dulu. Opsi ini disampaikan oleh Menko Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra. Yusril menyebutkan pihaknya akan berbicara dengan Mendagri Tito Karnavian dan pihak MK terkait opsi ini.
“Nah pemerintah itu berkeinginan supaya mudah-mudahan smooth ya, sengketa ini jalan terus di MK, tetapi yang tidak ada sengketa ya bisa dipertimbangkan untuk dia bagaimana apakah dilantik lebih dulu,” kata Yusril kepada wartawan di Istana Jakarta, Jumat (10/1).
Kemendagri juga telah merespons mengenai opsi tersebut. Wamendagri Bima Arya mengatakan saat ini pemerintah sedang membahas opsi tersebut.
Bima menjelaskan, saat ini masih berlaku jadwal pelantikan gubernur pada 7 Februari, sementara bupati/wali kota pada 10 Februari. Namun, menurut dia, pemerintah perlu membahas kembali jadwal tersebut lantaran sidang sengketa pilkada masih bergulir di MK hingga 13 Maret.
“Memang saat ini perpresnya pelantikan gubernur tanggal 7 Februari dan bupati/wali kota 10 Februari. Ini sudah hasil simulasi tahapan penetapan kepala daerah terpilih dan proses usulan pelantikan dari DPRD ke gubernur/presiden untuk kepala daerah yang tanpa gugatan,” kata Bima kepada wartawan, Jumat (10/1). ***
Sumber: detik.com