Dalam banyak kasus, perusahaan-perusahaan ini juga menikmati insentif fiskal yang kelewat lunak. Tax holiday, bea ekspor rendah, bahkan kadang mereka mendapat perlakuan istimewa hanya karena bisa menanam investasi besar. Tapi siapa yang diuntungkan? Lagi-lagi, korporasi global, bukan negara, bukan rakyat.
Namun, di tengah kegelapan ini, muncul satu arah baru: inisiatif Presiden Prabowo dengan membentuk holding BUMN strategis bernama Danantara.
Danantara bukan sekadar nama. Ia adalah simbol perlawanan terhadap dominasi asing atas kekayaan alam negeri sendiri. Tujuannya sederhana tapi revolusioner: mengembalikan kendali atas sumber daya alam ke tangan negara, memaksimalkan nilai tambah di dalam negeri, dan menghentikan kebocoran pajak serta ekspor mentah.
Melalui Danantara, Prabowo mendorong integrasi kekuatan BUMN—dari pertambangan, energi, hingga industri hilir—untuk menjadi pemain utama, bukan sekadar penonton. Ini adalah bentuk modernisasi ekonomi berbasis kedaulatan. Negara tak lagi hanya menyediakan izin tambang, tapi juga menjadi pelaku utama pengolahan dan perdagangan hasilnya.