Oleh : Hamzinah, S.I.Pust.
(Pustakawan & Pegiat Media Sosial)
AKSI Demonstrasi belakangan ini semakin marak, isu yang diangkat beragam. Mulai dari kritik terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan masyarakat hingga keresahan akibat tekanan ekonomi kian berat.
Unjuk rasa ini tidak hanya dihadiri kalangan mahasiswa dan pekerja, tetapi juga generasi muda, khususnya Gen Z yang menunjukkan pola gerakan khas mereka. Bahkan di dunia maya pun tak lepas dari aksi protes Gen Z dalam bentuk meme, poster visual hingga narasi digital.
Meski demikian, kekhawatiran juga bermunculan terkait meningkatnya keterlibatan anak di bawah umur dalam aksi massa. Psikolog Universitas Indonesia, Prof. Dr. Rose Mini Agoes Salim, M.Psi., menekankan bahwa meski demonstrasi dapat menjadi ajang pembelajaran menyampaikan pendapat, namun remaja masih sangat rawan terbawa arus provokasi karena kontrol diri mereka belum stabil.
‘’Kemungkinan mengendalikan diri pada remaja belum matang, sehingga risiko terpengaruh ajakan negatif sangat tinggi” ujarnya. (https://inforemaja.id)
Situasi tersebut terlihat jelas pada kasus di Semarang, sebanyak 327 pelajar diamankan polisi setelah terjadi kericuhan dan perusakan fasilitas di Mapolda Jawa Tengah. Mereka akhirnya dipulangkan. Namun, diwajibkan lapor secara berkala dan menandatangani surat pernyataan tidak mengulangi perbuatan serupa. (https://republika.co.id)
Sistem Kapitalisme Mereduksi Kesadaran Politik Gen Z
Di balik pandangan para psikolog, ada hal mendasar yang sering terabaikan. Pengklasifikasian karakter Gen Z sejatinya lahir dari kerangka Kapitalisme yang cenderung merduksikesadaran politik. Generasi ini dilabeli kreatif, digital, cinta kebebasan namun emosional dan haus pengakuan, lalu diarahkan agar nyaman mengekspresikan diri dalam ranah personal dan kultural bukan struktural dan politis.
Fokusnya dibatasi pada identitas, citra, dan emosi, sambil menghindari eskalasi konflik. Padahal, sejak awal penciptaan manusia memiliki naluri baqa’ yaitu naluri mempertahankan diri yang membuatnya menolak kedzaliman dan menginginkan kehidupan yang adil. Demonstrasi bukan sekadar gaya komunikasi khas Gen Z tetapi wujud fitrah manusia yang tidak rela ditindas.
Keresahan soal harga pangan, pendidikan, lapangan kerja hingga korupsi berakar dari dorongan untuk bebas dari kedzaliman sistem. Oleh karena itu, analisis psikolog yang berhenti pada perilaku generasi menjadi dangkal. Menyebut demo sekadar ekspresi atau ajang belajar justru menutupi fakta bahwa sistem kapitalisme liberal adalah sumber krisis.
Narasi psikologi semacam ini malah bisa melanggengkan ketidakadilan. Tuntutan yang disuarakan masyarakat termasuk Gen Z semestinya tidak berhenti pada isu-isu pragmatis semata, mereka membutuhkan solusi fundamental yang akan menghilangkan akar kedzaliman.
Artinya, kesadaran politik harus dibangktkan, bukan diredam dengan narasi psikologis, generasi muda justru perlu diarahkan untuk memahami bahwa keresahan mereka hanya bisa terwujud melalui perubahan sistemik yang menata kembali cara negara mengelola urusan rakyat.
Solusi Sejati
Dalam sistem Islam, manusia sejak awal penciptaannya, memiliki fitrah dengan khasiatul-insan (karakteristik kemanusiaan) yang harus mendapatkan pemenuhan berdasarkan tuntunan syariah bukan sekedar tuntunan psikologi. Fitrah itu mencakup naluri mempertahankan diri (ghariza baqa’), kebutuhan untuk beragama (gharizatadayyun), serta kebutuhan untuk melestarikan keturunan (ghariza nau’).
Ketika ketiga naluri ini dipenuhi dengan syariat, manusia tidak hanya akan bereaksi spontan terhadap tekanan, tetapi juga akan menemukan arah perjuangan yang benar untuk menghapus kedzaliman. Islam juga memberikan mekanisme jelas dalam menghadapi penguasa yang dzalim, melalui muhasabah lil hukkam (mengoreksi penguasa). Mekanisme ini telah dipraktikkan sejak zaman Rasulullah SAW dengan cara yang argumentatif, hikmah, dan penuh hujjah. Sebagaimana Firman Allah dalam QS. An-Nahl : 125, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantalah mereka dengan cara yang baik”.
Bahkan Rasulullah SAW menegaskan keutamaan orang yang berani berdiri di hadapan penguasa yang dzalim dengan menyampaikan kebenaran. Dalam Hadist disebutkan “Pemimpin para syuhada’ adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan (juga) seorang laki-laki yang berdiri di hadapan penguasa dzalim, lalu ia memerintahkannya (kepada kebaikan) dan melarangnya (dari kemungkaran), kemudian penguasa itu membunuhnya”. (HR. Al-Hakim).
Mekanisme ini menegaskan bahwa menyampaikan kritik, protes, atau demonstrasi dalam Islam bukan sekadar ekspresi emosional, melainkan bagian dari kewajiban syar’i untuk menolak kedzaliman. Sejarah mencatat, pemuda selalu menjadi garda terdepan dalam perubahan. Sejak awal dakwah Islam, sahabat-sahabat muda seperti Ali bin Abi Thalib, Mus’ab bin Umair, Usamah bin Zaid hingga Zubair bin Awwam tampil sebagai pelopor perjuangan. Mereka tidak sekadar menyuarakan perlawanan simbolis, tetapi perubahan mendasar (taghyir) dengan menjadikan syariat sebagai pedoman hidup.
Maka, peran pemuda dalam Islam bukan dibatasi pada ekspresi kreatif atau tren digital semata, melainkan diarahkan untuk membangun kesadaran politik yang sejati yang akan mengantarkan pada perubahan sistem yang adil. Jika demikian, apa yang kita saksikan hari ini, yakni demonstrasi di jalan dan kreativitas digital di dunia maya harus dipahami sebagai potensi besar yang perlu dituntun oleh Islam.
Tanpa arahan syariat Islam, potensi itu berhenti pada ruang ekspresi sesaat, bahkan bisa dimanipulasi oleh sistem kapitalisme untuk meredam kesadaran politik hakiki, tetapi ketika diarahkan oleh Islam, keresahan rakyat dan keberanian pemuda akan menjadi kekuatan yang menghapus kedzalimanhingga ke akar-akarnya. Sebagaimana pernah dibuktikan oleh generasi sahabat Rasulullah SAW dalam sejarah hingga Islam tegak sebagai sebuah peradaban.
Wallahu a’lam bish shawwab