Catatan Pinggir

  • Whatsapp
banner 728x90
Jangan Mau (Ditipu) Kesederhanaan 

BILA Karakter sudah ditukar dengan politik, pasti sudah tidak lagi sesuai aslinya. Bahkan, muncul di dunia media sosial menyebut, ‘’Untuk apa prilaku mirip rakyat kecil, tapi menyengsarakan rakyat kecil.’’ Sebenarnya trend politik di Indonesia ini tergantung market (pasar). Dulu, publik dominan sangat mengidolakan pemimpin yang ganteng, cerdas dan tegap serta gagah.

Paska politiking ‘ganteng’ maka bergeser pada keinginan pasar soal pemimpin yang sederhana, berprilaku lugu dan sedikit bicara tapi bekerja banyak. Mulanya pasar politiking itu bak air bah, sama dengan politiking ‘ganteng’ sebelumnya. Publik hanya kagum dan berharap sesuai dengan kebutuhan pasar politik di eranya. Tak pernah menguji dengan kritis politiking itu secara rigit, runut dan sistematis soal siapa yang dipolitiking ke pasar itu sudah tepat.

Trend politik kesederhanaan ternyata juga mewabah ke daerah-daerah. Suka blusukan, suka ketemu tokoh masyarakat, suka duduk berlama-lama dengan warga kampung, sampai ikut kegiatan masyarakat kecil. Semua dilakukan untuk ‘menjual’ kedekatan dengan kesederhanaan. Lagi-lagi, trending politiking ‘sederhana’ di daerah pun tidak mesti signifikan dengan kinerja sang politisi. Kadang kemasan lebih menipu dari isinya (conten).

Untuk menguji politiking ‘sederhana’ itu dengan kinerjanya setelah menjabat sangat mudah. Urai saja indikator-indikator kesederhanaannya dengan apa yang diperbuatnya setelah menjabat. Apakah masih suka blusukan? Apa masih suka berlama-lama hingga pagi dengan warga kampung? Apakah masih mau mendengar suara rakyat miskinnya? Ataukah sudah berubah? Sudah lain gayanya. Sudah beda kesederhanaannya? Waktu tetap tidak bisa berbohong. Kulit asli akan pasti menukar yang palsu.

Di sinilah peran komunikasi media yang sangat bertanggung jawab. Karena dengan membangun opini politiking terus menerus, baik dari darat (media cetak) dan udara (media online) akan membentuk cara berfikir, berbuat dan bersikap publik. Untuk menghentikannya, media pula yang harus segera duluan bertobat. Media duluan kembali pada khitahnya. Tidak lagi membangun opini bulsit yang pada akhirnya menyesatkan. ****

 

OLEH: Andono Wibisono

Berita terkait