WARGA DESA Bungintimbe Kecamatan Petasia Kabupaten Morowali Utara yang mengklaim tanahnya yang dirampas PT Agro Nusa Abadi (ANA) untuk perkebunan sawit, menuduh bahwa perusahaan itu hingga kini belum mengantongi Hak Guna Usaha (HGU). Terlebih dengan tuntutan Pemkab segera melakukan kajian analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).
‘’Kami menduga sudah 10 tahun PT ANA yang mengudeta (bahasanya. Maksudnya merampas) tanah rakyat kami, tidak memiliki HGU,’’ ujar H Abidin pada Kaili Post kemarin (18/04/2017) di Palu. Ia datang kembali bersama warga Desa Bungintimbe untuk bertemu Gubernur Longki Djanggola.
Menurutnya, hanya Gubernur satu-satunya pemerintahan yang dijadikan tempat mengadu. ‘’Agar Bapak Gubernur memahami derita kami yang sudah lima tahun ini tidak dapat mengelola tanah kami sendiri. Kami dihalang-halangi aparat dan Pemkab Morowali Utara. Kami akan pertaruhkan nyawa untuk membela hak kami,’’ ujarnya dengan dialek Sulawesi Selatan yang kental.
Sebelumnya, warga tiga desa di Kecamatan Petasia Morowali Utara itu meminta Gubernur Sulawesi Tengah memberikan teguran keras pada Bupati Morut, Aptripel Tumimomor yang mengeluarkan surat yang jelas-jelas tidak membela masyarakat. Justru surat nomor 590/0445/ADPUM/ix/2016 tertanggal 9 September 2016, terkesan membela pengusaha PT Agro Nusa Abadi (ANA) anak perusahaan dari PT Astra.
Menurut warga, yang datang ke redaksi Kaili Post di Palu (12/04) menyebut surat Bupati Aprtripel sangat arogan karena di poin delapan menyebut bahwa suratnya bersifat final dan tidak akan membuka jalan mediasi kembali. Bahkan bila tidak puas, warga diminta menempuh jalan hukum.
‘’Fungsi pemerintah itu mengatur dan melindungi warganya. Dia jadi bupati dipilih masyarakat. Bukan dipilih pengusaha sawit. Kami terus terang kecewa. Mohon kado kami pada Bapak Gubernur Longki Djanggola untuk segera menegur Bupati Morut,’’ ujar juru bicara warga Andi Tadjudin Wawo yang datang bersama masyarakat lainnya sekitar 12 orang.
Menurutnya, Tim yang dibentuk Bupati yang dilantik Pebruari 2016 di Palu, itu tidak menyertakan warga yang bersengketa dalam proses mencari kebenaran. ‘’Tim Sengekata lahan perkebunan dan kepentingan publik semuanya pejabat dan perwakilan perusahaan. Kami yakin pasti keputusannya alas hukum tanah kami tidak diakui,’’ tandas Andi tadjudin lagi.
Dijelaskannya, ia dan warga sekitar memperoleh lahan garap di wilayahnya sesuai dengan ketentuan pemerintahan desa dan kecamatan. Yaitu surat izin pembebasan pengolahan tanah sejak 1992 dengan nomor 03/15/PDT/1992 oleh Kepala Desa Bungintimbe Mahmud Sape dan Camat Drs Moch Amirullah Sia. Mereka memperoleh lahan 450 ha dengan rincian; untuk sawah 15o ha, tanah perkebunan 150 ha dan tanah empang 150 ha.
Kini, akibat Izin Usaha Perkebunan (IUP) PT Agro Nusa Abadi (ANA) lahan warga seluas 1.400 ha masuk dalam areal perusahaan itu. Bahkan, areal empang milik warga seluas 1.200 ha yang bertahun-tahun digunakan untuk budi daya rumput laut, kini dua tahun terakhir sudah tidak dapat panen. ‘’Dulu setiap tahun warga bisa memperoleh satu setengah miliar rupiah bila panen. Sekarang, karena tercemar oleh perkebunan sawit, dua tahun terakhir kami sudah tidak bisa lagi budidaya rumput laut,’’ terangnya lagi.
Olehnya warga meminta Gubernur Longki Djanggola untuk dapat menegur Bupati Morut Aptripel Tumimomor untuk dapat memberikan keputusan yang adil pada masyarakat dan pengusaha. ‘’Pebruari 2016 dilantik. September 2016 surat terbit tanpa ada proses sosialisasi dan mediasi atau mendengar langsung masyarakat. Ini ada apa? Anehnya, dalam surat bupati tidak lagi peluang mediasi atau membangun komunikasi. Sifatnya final. Dia bupati atau hakim?,’’ tandas Andi Tadjuddin lagi.
SIAPA PT ANA ITU ?
Tanggal 22 September 2006, atau 11 tahun lalu, perusahaan anak grup PT Astra Sawit yang beralamat di Jalan Pulo Ayang Raya Blok OR-1 Kawasan Industri Pulogadung Jakarta. Tanggal itu, PT ANA mengajukan permohonan izin lokasi tanah untuk perkebunan sawit 19.675 ha di Petasia Kabupaten Morowali (dulu belum Morowali Utara) Sulteng. Tanggal 8 Desember 2016, terbit izin SK dari Bupati Datlin Tamalangi nomor 188.45/0760/UMUM/2006.
Isi surat tersebut antara lain; pembayaran ganti kerugian serta tanaman dan atau bangunan di atasnya atau barang-barang lain pemegang hak atas tanah, tidak dibenarkan melalui perantara dalam bentuk dan nama apapun, melainkan dilakukan langsung kepada yang berhak. Point ketiga masih dalam surat itu ditegaskan bahwa perolehan tanah harus diselesaikan dalam waktu 12 (dua belas) bulan. Bila merujuk izin itu, PT ANA hingga kini belum menyelesaikan, berarti tidak memiliki itikad baik.
Pada tanggal 27 April 2007, kembali Bupati datlin Tamalangi memberikan persetujuan izin usaha perkebunan PT ANA dengan luas 19.675 ha. Menurut keterangan warga, amanah persetujuan izin usaha perkerbunan juga tak diindahkan perusahaan. Yaitu tidak melaksanakan pola kemitraan, memberikan kesempatan usaha koperasi karyawan perkebunan dan malah menyerobot lahan warga.
Tahun 2008, tanggal 13 Agustus 2008 Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan Sulteng memberikan rekomendasi, yang ditandatangani Kabul Pindos Tandi kala itu Plt Kadis. Sebelumnya, 4 Pebruari 2008, perusahaan anak grup Astra itu diberikan surat Pemkab Morowali terkait dengan penegasan kewajiban studi AMDAL dan perjanjian kemitraan. Hal itu karena laporan Dinas pertanian Kabupaten Morowali bahwa perusahaan hingga 2008 belum menyelenggarakan kewajiban studi AMDAL dan kemitraan dengan petani. PT ANA juga belum melakukan perjanjian kerjasama dengan petani/koperasi sebagaimana ketentuan Permentan RI nomor 26/Permentan/OT.140/2007 tanggal 28 Pebruari 2007. Surat itu ditandatangani Bupati Morowali Anwar Hafid.
Pada surat keputusan Nomor 188.45/KEP-B.MU/0096/VIII/2014, diktum memutuskan, Bupati Morowali Utara Pj Haris Renggah menegaskan …apabila tanah di atas terdapat kawasan hutan dan hak-hak masyarakat, maka perolehan tanah harus dilakukan secara langsung atara pihak-pihak yang berkepentingan dengan penerima izin melalui keputusan pelepasan kawasan hutan dari menteri kehutanan dan atau melalui jual beli atau cara pelepasan hak yang dilaksanakan dengan pembuatan akta jual beli dihadapan pejabat pembuat akta tanah (PPAT) atau pelepasan hak dihadapan PPAT setempat dengan memberikan ganti rugi yang bentuk dan besarnya ditentukan secara musyawarah. Hal ini tidak pernah dilakukan PT ANA dengan masyarakat, ujar Andi Tadjuddin dengan merinci.
‘’Seluruh keputusan pemerintahan kabupaten dari Pemkab Morowali dulu hingga penjabat Bupati Morowali Utara tidak diindahkan oleh bupati sekarang, Aptripel Tumimomor. Ini yang aneh. Apakah beliau tidak menghargai lembaganya sendiri. Terlebih itu diputuskan hanya tujuh bulan setelah dilantik jadi bupati. Ini aneh, makanya hanya Gubernur yang dapat menyelesaikan,’’ tandas Andi serius. Olehnya di hari Ulang tahun Propinsi Sulteng warga Petasia menuntut keadilan pada pemerintah, khususnya pada Gubernur Sulteng. **
reporter/editor: ramdan/andono wibisono