PERMOHONAN Maaf Ketua Umum PB PMII, Aminuddin Ma’ruf, sudah diungkapkan. Baik pada Gubernur Longki Djanggola dan pada masyarakat di Masjid Agung Palu, bahkan pada tokoh agama Islam berpengaruh, Ketua Utama Al Khairaat Sagaf Al Jufrie kemarin. Tapi hal itu tidak menghalangi sanksi adat padanya. Ia dikenakan givu (sanksi adat) akibat perkataannya yang tidak sesuai norma adat istiadat di wilayah Lembah Palu.
Adalah Ketua Umum Forum Pemuda Kaili (FPK) Kota Palu, Imron Lahamado di depan Mapolda (17/5), mengatakan bahwa Ketua PB PMII tersebut harus dikenakan sanksi adat. Imron mengatakan benar-benar tersinggung dengan pernyataan yang disampaikan Ketua PB PMII tersebut. “Jelas tersinggung dengan pernyataan tersebut. Kita di Sulteng ini tidak ada radikalisme,” tutupnya.
Sementara pada pertemuan di Masjid Agung Darusalam, permohonan maaf yang disampaikan Aminuddin Ma’ruf tidak mengubah koridor aturan hukum adat yang telah diterapkan di tanah Kaili Kota Palu, dimana Ketua umum PB PMII tetap dikenakan Givu atau sanksi adat berupa tiga ekor kambing dan 30 buah piring.
Aminuddin yang diberikan kesempatan dalam acara pertemuan panitia PMII dengan lembaga adat Kaili, menyatakan untuk kongres PMII Ke XIX penuh dengan kearifan lokal, dimana PMII sangat menghormati budaya dan adat istiadat di setiap daerah di Indonesia.
“Atas nama pribadi sebagai ketua umum PB PMII saya memohon maaf atas pernyataan tersebut baik kepada masyarakat Sulteng, Pemerintah Provinsi, dan masyarakat Kota Palu, serta tokoh adat ini,’’ ungkapnya.
Menanggapi hal tersebut, Wakil ketua Dewan Adat Kaili Arifin Sanusi menegaskan atas permintaan maaf yang sudah disampaikan oleh Ketum PB PMII kepada lembaga keadatan di tanah Bumi Tadulako ini telah menerima dan memaafkan. Akan tetapi permohonan maaf itu, tidak serta merta menghilangkan nilai keadatan yang disampaikan.
‘’Aturan keadatan di tanah Kaili ini berkaitan dengan nilai adat yang dikenakan yaitu Salambivi atau salah bicara yang konsekuensinya, adalah tetap harus menerima Givu atau yang dikatakan sanksi,” ungkapnya usai melakukan pertemuan dengan kader PMII.
Untuk Givu yang dikenakan adalah berupa tiga ekor kambing dan 30 buah piring makan, yang harus dibayar oleh Ketum PB PMII, dan apabila tidak dibayarkan oleh Aminuddin Ma’ruf maka lembaga adat kaili akan mengusirnya dari wilayah Tadulako ini.
‘’Kalau Givu tidak diindahkan oleh ketum PB PMII maka dirinya tidak boleh kembali menginjak tanah Kaili dan harus dipulangkan secara paksa atau di usir dari tanah kaili ini,’’ tegas Arifin. Diketahui, bermula dari pembukaan Kongres PMII ke XIX di Masjid Agung Darussalam, Palu (16/5) yang dihadiri langsung Presiden RI Joko Widodo dan para menteri, Ketua Umum PB PMII, Aminudin Ma’ruf menyebut Sulawesi Tengah adalah pusat radikal islam dan pusat dari gerakan menentang NKRI. Pernyataan tersebut menjadi viral di media sosial dan sangat mendiskreditkan dan melukai hati masyarakat Palu dan Sulteng pada umumnya.
Akibat pernyataan tersebut, kemarin (17/5) puluhan mahasiswa dari berbagai organisasi melakukan aksi di depan Mapolda Sulteng, untuk mendesak agar Aminudin mengklarifikasi pernyataannya tersebut dan memohon maaf kepada seluruh masyarakat Sulteng secara keseluruhan atas pernyataannya yang tidak berdasar itu.
Berbagai organisasi seperti FUI Sulteng, FPI, HMI MPO, HMI Dipo, serta organisasi-organisasi lainnya dalam aksi yang dilakukan sangat menyesalkan pernyataan Ketua PB PMII tersebut. “Ketua PB PMII, gagal faham dan mengalami kesesatan berpikir,” kata salah satu orator dalam aksi.
Sementara itu, Ketua HMI MPO, Zaenal HD Ratajeli yang juga turut hadir dalam aksi tersebut mengatakan Ketua PB PMII tidak mencerminkan kaum intelektual. Apalagi kata Zaenal, hal tersebut disampaikannya dalam kapasitasnya sebagai Ketua tertinggi sebuah lembaga dan dalam sebuah kegiatan resmi. **
sumber/editor: jawapos/jurnalsulawesi.com/andono wibisono