Poso,- BAGI MASYARAKAT Kebanyakan, nama perkampungan Mapane memang bukanlah sebuah nama yang asing di telinga. Dalam catatan sejarah, kampung yang saat itu masih bernama Takule, mulai dihuni penduduk sejak abad ke 18 silam. “Dulu kampung itu (Mapane red) bernama takule, karena di sana banyak pohon takule. Dalam bahasa Poso, pohon takule berarti pohon belimbing”, kata Henny Sonora, pemerhati sejarah Poso.
Dari Kampung Mapane atau Takule inilah, perkampungan penduduk berawal sebelum Poso tumbuh menjadi kota, dan kini menjadi ibukota Kabupaten Poso. Menariknya, selain kampung tua, Mapane juga menyimpan kisah toleransi antar penganut agama yang berbeda-beda. Di kampung yang telah berstatus kelurahan inilah terjadi perjumpaan agama-agama, khususnya agama Islam dan Kristen, selanjutnya secara bertahap menyebar ke wilayah pemukiman lainnya.
Untuk menelusuri jejak Mapane, kita bisa mulai dari kehadiran seorang sosok terhormat bernama Baso Ali. Sejumlah sumber lisan menyebutkan, Baso Ali bersama keluarganya berasal dari sebuah desa bernama Cilellang, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan.
Sebelum menginjakkan kaki di Mapane (Takule), Baso Ali dikenal sebagai saudagar yang mengembara di beberapa wilayah di Sulawesi Tengah, antara lain, Lambunu (Parigi Moutong), Kulawi (Sigi), dan Besoa (Napu). Di dataran Napu, Baso Ali sempat menikahi tiga orang gadis lalu keturunannya dibawa ke Mapane. Dari sinilah komunitas Islam mulai memadati perkampungan Mapane.
Ada pun bukti peninggalan Baso Ali yang masih terpelihara sampai saat ini adalah Masjid Nunu. Masjid yang dibangun pada tahun 1923 itu, terletak di Jalan poros Mapane – Bandar Udara Kasiguncu (Jl.Baso Ali). Masjid Nunu sendiri diketahui berasal dari nama sebuah pohon yang tumbuh di pelabuhan Mapane ketika itu. Dalam bahasa Poso, pohon Nunu berarti pohon Beringin. Namun belakangan ini, masjid tua dan tertua yang ada di Kabupaten Poso saat ini, telah berubah nama menjadi Masjid Al-Amin Mapane.
Begitulah kisah historis Mapane jaman dahulu, selain mengandung kisah heroik dan perjalanan relegi, kampung yang kini telah menjadi pintu gerbang sebelum memasuki kota Poso ini, juga menjadi awal mula interaksi antar penganut agama Islam dan Kristen. Adalah Albert Cristian Kruyt, penginjil dari NZG Belanda, bertemu dan bernegosiasi lintas religi dengan Baso Ali, sebelum melakukan perjalanan penginjilan ke wilayah pegunungan di Kabupaten Poso. Kruyt diketahui tiba di Pelabuhan Mapane pada tahun 1892, dari perjalanan panjang dari Manado-Gorontalo-Mapane.
Beberapa sumber lisan menyebutkan, hubungan antara Baso Ali (termasuk menantunya Odjobolo) dengan A.C.Kruyt sangat harmonis, bahkan untuk pengembangan agama masing-masing, kedua pihak bersepakat berbagi wilayah penyebaran agama, Islam menyebar ke wilayah pesisir pantai, Kristen bergerak naik ke wilayah pegunungan. Itu sebabnya, wilayah pesisir pantai di Kabupaten Poso sampai saat ini didominasi oleh penduduk beragama Islam. Sebaliknya, wilayah pegunungan dari Kecamatan Poso pesisir, Lage, dan Pamona bersaudara mayoritas penduduk pribumi beragama Kristen protestan, sesuai dengan ajaran yang dikembangkan oleh Albert Cristian Kruyt.
Diketahui, Kruyt setelah meninggalkan Mapane, ia bergerak ke wilayah pegunungan Pebato dan bertemu dengan tokoh panutan bernama SoaE, tokoh relegius ini kemudian lebih populer dengan nama Papa I Woente, istrinya dikenal dengan nama sapaan Ine Maseka.
Kini, Mapane telah berubah dari perkampungan menjadi kota satelit, pintu gerbang sebelum memasuki kota Poso dari arah barat. Meski penduduknya mayoritas beragama Islam, namun memiliki pengalaman hidup bertetangga dengan pemeluk agama Kristiani, yang saat ini banyak bermukim di Kelurahan Kasiguncu, sebuah kelurahan yang masih berbatasan langsung dengan wilayah Kelurahan Mapane.
“Jadi kalau bicara soal toleransi, jauh sebelum Kota Poso ramai, orang Mapane dan Kasiguncu telah mempraktekkan toleransi”, kata Syarifudin Odjobolo, salah seorang keturunan dari Almarhum Baso Ali. **
reporter/editor: darwis waru