Melacak Jejak To Pamona Di Tana Poso

  • Whatsapp
banner 728x90
LASAEO BUKAN MITOS



Poso,- TERBATASNYA Referensi tertulis nampaknya menjadi tantangan tersendiri dalam melacak asal usul To Pamona. Hal tersebut diakui oleh beberapa nara sumber yang ada di Poso. Satu-satunya referensi tertulis yang menguraikan seputar To Pamona selama ini, banyak bersumber dari catatan Albert Cristian Kruyt, yang diketahui pertama kali menginjakkan kakinya di tana Poso pada tahun 1892.

Adalah Luther Mansyur Andi Baso Meringgi,S.Th, salah seorang pengamat etno-relegi, mencoba menguraikan asal usul To Pamona dengan mengaitkannya dengan Kedatuan Luwu. Penulis buku ‘Bertumbuh dan Berbuah Untuk Semua’ ini mengawali dengan memastikan bahwa, “cerita tentang Lasaeo bukanlah mitos”. Sebaliknya, Lasaeo adalah seorang tokoh sakti dari Luwu yang menikah dengan Rumongi, anak angkat dari pasangan suami istri Rumbenunu dan Roe Mbetue  yang sebelumnya sudah ada di perkampungan Pamona (sekarang bernama Kelurahan Pamona).

Hal senada dikemukakan oleh Gustaf Tadjongga. Menurut Mantan Lurah Lombugia ini, Perkawinan Rumbenunu dan Roe Mbetue tidak memiliki anak, sehingga dijadikanlah Rumongi sebagai anak angkatnya, belakangan Rumongi dikawini oleh Lasaeo. Dari sinilah kata Gustaf, mulai berkembang orang Pamona (To Pamona), setelah itu mereka berpisah dari Bukit Pamona yang ditandai dengan Watu Mpogaa (batu perpisahan).

Pernyataan Gustaf seirama dengan Baso Meringgi. Menurut kedua sumber ini, dari Rumbenunu, Lasaeo bersama istrinya Rumongi, sesungguhnya kita bisa memulai asal usul To Pamona. Setelah itu, kita boleh mencoba mengaitkan dengan keberadaan Watu Mpogaa di Kelurahan Pamona saat ini. Baso Meringgi menambahkan, Lasaeo adalah generasi ke-5 dari Kerajaan Sawerigading yang bertahta di Tana Luwu (Sekarang Kabupaten Luwu). Ia datang ke Tana Poso (Pamona) sekitar Tahun 1117, untuk melebarkan sayap Kedatuannya, pada saat bumi Pamona masih dihuni oleh sekelompok orang yang masih  hidup berpindah-pindah. “Jadi sekali lagi, Lasaeo bukan mitos, dia ada dan tercatat dalam sejarah Kerajaan Luwu,Sulawesi selatan”, kata Luther Meringgi.

Begitulah Luther Meringgi dan Gustaf Tadjongga mencoba mengurai jejak To Pamona, dengan menguraikan keterkaitan orang Pamona dengan Luwu. “Pamona tak bisa dipisahkan dengan Luwu, buktinya sampai saat ini, suku Pamona tercatat sebagai anak suku ke-12 dalam silsilah Kerajaan Luwu”, kata Baso Meringgi, seraya membuka-buka lembaran buku pegangannya.

Kini, suku Pamona memang terdengar sayup-sayup, tenggelam oleh nama Poso yang melekat sebagai nama sebuah Kabupaten, sehingga untuk membedakan Poso sebagai sebuah wilayah dan Pamona sebagai penduduk asli yang mendiaminya, kadangkala dikacaukan oleh penggunaan bahasa yang kurang tepat. “Jadi menurut saya, tidak ada Suku Poso, karena Poso hanyalah sebuah nama wilayah. Suku asli Tana Poso adalah To Pamona, yang terbagi atas beberapa sub etnis, antara lain, Ondae, Lamusa, Wingke Ndano, Lage, dan Pebato, dan Tojo,”, urai Luther Meringgi.

Sejumlah referensi tertulis yang ditemukan penulis menyebutkan, penyebaran anak suku Pamona (sub etnis), pasca kehadiran Lasaeo di Pamona, dimulai dari bukit Pamona, yang ditandai dengan bukti sejarah berupa batu yang dikenal dengan ‘Watu Mpogaa’ (batu/tugu perpisahan). Jejak perpisahan dalam jajaran batu tersebut sampai saat ini masih terjaga dengan baik, dalam area Gereja Bethel-Pamona-Tentena, Kecamatan Pamona puselemba.

Baso Meringgi memperkirakan, kehadiran La Saeo di Pamona (Tentena), telah melewati waktu 900 tahun silam. Artinya, jejak To Pamona bisa dilacak dengan mencoba mengurainya secara hati-hati dari Tahun 1117. “Jadi jejak To Pamona bermula dari Tahun 1117, karena dalam sejarah Kerajaan Luwu dikisahkan, Lasaeo datang ke Pamona, pada saat sosok yang digambarkan tinggi besar, berkulit putih, dan berwajah ganteng itu, sedang memegang tampuk Kerajaan Luwu (Wotu) yang Ke-5.

Dan dikisahkan bahwa, Lasaeo tidak melanjutkan tahtanya, karena harus mengembara ke Pamona”, urai Luther Mansyur Andi Baso Meringgi, dalam perbincangan dengan Kaili Post  suatu ketika, di rumah kediamannya. **

reporter/editor: darwis waru

Berita terkait