CIA ; Dalang Di Balik Gerakan 30 September 1965

  • Whatsapp
banner 728x90

PADA TANGGAL 30 September 1965, terjadi pemberontakan yang dikenal dengan nama Gerakan 30 September (G30S). Peristiwa ini bisa dibilang sebagai catatan sejarah Indonesia yang paling kelam dan paling sensitif untuk dibahas terutama pada masa pemerintahaan Orde Baru. Setelah tahun 1998, peristiwa tersebut ramai dibicarakan. Sehingga memunculkan banyak versi yang menggambarkan siapa-siapa saja dalang dibalik peristiwa G30S. Ada yang mengatakan Presiden Sukarno, PKI, CIA, bahkan pahlawan yang menumpas gerakan tersebut pun dikatakan bagian dari dalang tersebut, yaitu Suharto.

Untuk mencoba memahami peristiwa G30S tersebut, penulis mencoba mengupasnya dari beberapa catatan sejarah yang ada. Tetapi artikel ini tidak akan bisa merepresentasikan kejadian sesungguhnya yang begitu kompleks, rumit, dan ruwet. Penulis berharap, tulisan ini bisa menjadi titik awal untuk mulai memahami sebuah peristiwa sejarah paling misterius yang pernah dialami oleh bangsa Indonesia.

Sebelum peristiwa G30S meletus, terjadi perpecahan di dalam tubuh Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang secara sederhana kita sebut saja dengan Kubu Soekarnois (setia pada presiden) dan Kubu “Kanan” (tidak sejalan dengan sikap politik presiden, Nasakom).  Konflik internal TNI ini dipicu oleh adanya gagasan PKI membentuk Angkatan Kelima, dalam rangka konfrontasi militer dengan Malaysia (1962-1966). Pihak militer mencurigai PKI akan melakukan kudeta dan merebut kekuasaan. Memanasnya hubungan PKI – TNI ini lah yang jadi sumber konflik dalam internal TNI sendiri. Dua kubu dalam tubuh TNI, berbeda pandangan dalam menyikapi gagasan yang ditelurkan oleh PKI tersebut. Kubu Soekarnois mendukung, sedangkan kubu “kanan” menganggap PKI sebagai ancaman sehingga harus diredam perkembangannya.

Konflik internal dalam tubuh TNI tersebut diduga dimanfaatkan oleh CIA (Amerika Serikat). Sebelumnya pernah terlibat dalam peristiwa pemberontakan tahun 1957-1958, yaitu pemberontakan Permesta (Makasar), dan PRRI (Sumatera Barat). Salah satunya bukti kuat atas keterlibatannya adalah tertangkapnya agen rahasia, Allen Lawrence Pope. Setelah gagal dalam pemberontakan tersebut, CIA pernah mendekati Letjen Ahmad Yani, yang waktu itu sedang belajar di Amerika, untuk membentuk Dewan Jendral. Namun ide itu tidak direalisasikan oleh Ahmad Yani setelah kembali ke Indonesia, walaupun sempat dilontarkan kepada teman-temannya di lingkungan TNI Angkatan Darat  (AD). Akan tetapi isu pembentukan Dewan Jendral itu yang kemudian dikembangkan oleh CIA.

Salah satu tokoh yang sangat berperan dalam peristiwa G30S adalah Syam Kamaruzzaman (Ketua Biro Khusus PKI). Ternyata dia memiliki posisi Double Agent. Disamping sebagai tokoh (petinggi) PKI, dia ternyata juga adalah agen CIA. CIA mengupayakan agar Syam Kamaruzzaman menjadi orang kepercayaan D.N. Aidit di dalam tubuh organisasi PKI. Kemudian Syam Kamaruzzaman melontarkan isu Dewan Jendral, yang akan melakukan kudeta pada 5 Oktober 1965. Isu ini menimbulkan reaksi dari para petinggi PKI dan Presiden Soekarno, dengan dibentuknya Dewan Revolusi. Dewan Revolusi memandang penting untuk melakukan gerakan dalam upaya menyelamatkan kedudukan presiden sekaligus masa depan PKI. Tujuan dari gerakan ini adalah menculik para jendral yang nantinya akan dihadapkan kepada Presiden Sukarno untuk dimintai keterangan berkisar isu Dewan Jendral.

Untuk mematangkan rencana tersebut, D.N. Aidit mendukung ide G30S yang ditelorkan  Syam Kamaruzzamanwan. Gagasan itu kemudian disetujui oleh Presiden Soekarno. Syam Kamaruzzaman mengambil alih pimpinan karena merasa memiliki ide dan tahu banyak tentang strateginya. Selanjutnya, dia minta bantuan militer. Presiden kemudian meminta Laksamana Omar Dani untuk membantu gerakan itu. Dengan demikian, otak dari gerakan G30S sesungguhnya adalah Syam Kamaruzzaman. Dialah yang mengatur strategi dan melaporkannya kepada D.N Aidit. Itulah sebabnya mengapa dilapangan peran D.N. Aidit tidak nampak sekali. Jadi dalam hal ini D.N. Aidit telah menjadi korban anak buahnya sendiri.

Disamping melakukan infiltrasi di dalam tubuh PKI, CIA juga melakukan hal yang sama ke dalam lingkungan TNI AD. Dengan memanfaatkan Syam Kamaruzzaman yang memiliki hubungan dekat dengan orang-orang TNI AD, termasuk Suharto. Untuk menyuksekan misinya dalam G30S, Syam Kamaruzzaman pernah meminta bantuan kepada Soeharto untuk menyiapkan tenaga militer. Lantas oleh Suharto memilih Kol. Latief dan Letkol. Untung Syamsuri.

Keduanya mempunyai hubungan dekat dengan Suharto. Kol. Latief adalah bekas anak buah Suharto sewaktu bertugas di Pangdam Diponogoro, Jawa Tengah dan masih sering berhubungan baik secara formal maupun non formal. Bahkan malam tanggal 30 September 1965 Kol. Latief melapor pada Suharto bahwa malam tersebut dia akan bergerak bersama Letkol. Untung Syamsuri. Tapi Suharto sama sekali tidak melarang gerakan tersebut. Sementara keberadaan Letkol.

Untung Syamsuri di Tjakrabirawa juga mengindikasikan bakal ada gerakan terselubung. Karena yang bersangkutan baru saja di mutasi di Yon I Tjakrabirawa yaitu pada bulan Mei. Keberadaan mereka berdua, mengindisikan untuk mempermudah koordinasi. Kecurigaan Soeharto ada dalam lingkaran peristiwa G 30 S, juga berdasarkan daftar orang-orang yang akan di culik dimana Mayjen Soeharto (Deputi I Men/Pangad) justeru tidak masuk dalam daftar.

Dalam pelaksanaannya, G30S ternyata tidak sejalan dengan perencanaan awal. Ditengah misi, ketujuh jendral yang diculik, enam diantaranya malah dibunuh, dan satu orang lainnya berhasil meloloskan diri. Sehingga ketujuh jendral tersebut tak pernah dihadapkan sama sekali dengan Presiden Soekarno. Apa bila Suharto tahu kalau rencana penculikan itu berubah menjadi pembantaian, berarti secara tidak langsung Suharto terlibat dalam pembunuhan rekan-rekan seperjuangannya sendiri.

Setelah peristiwa G30S terjadi, Soeharto muncul sebagai tokoh penyelamat. Atas kuasanya, beliau menggerakan pasukannya untuk melakukan proses pencarian para jendral yang hilang, dan melakukan operasi pemulihan keamanan, termasuk pembersihan (penumpasan) terhadap PKI dan simpatisannya.

Sampai pada akhirnya Soeharto menerima Supersemar. Berbekal surat perintah itu, pada 12 Maret 1966, kemudian membubarkan PKI dan menyatakannya sebagai partai terlarang di Indonesia. Setelah MPRS menolak laporan pertanggungjawaban Presiden Soekarno, Soeharto dengan mulus diangkat menjadi presiden kedua Republik Indonesia. Sejak saat itu Indonesia memasuke era Orde Baru.

Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada keterlibatan CIA sebagai dalang utama dalam G30S dengan memanfaatkan konflik internal TNI untuk kemudian membantu terjadinya peralihan kekuasaan, dan sambil menjadikan PKI sebagai kambing hitam. Kesimpulan ini dapat diperkuat lagi dengan kesaksian Omar Dhani (Kasau), bahwa tidak ada satupun orang Indonesia yang mampu mendisain G30S, dan yang menjadi disainer G 30 S adalah Marshal Green mantan Kedubes Amerika.

Dipertegas lagi dengan keterangan Kathy Kadane (1990), mantan agen CIA, yang menceritakan tentang proses peralihan kekuasaan tahun 1965 serta upaya penghapusan ideologi komunis di Indonesia. Selain itu tahun 1999, CIA melakukan deklasifikasi (declassified) atau pembukaan dokumen rahasia tentang keterlibatan mereka terhadap konflik internal negara Indonesia, antara lain membeberkan bukti telegram dari kedutaan besar Amerika di Indonesia terkait pendanaan yang diberikan oleh Amerika kepada Indonesia agar  tidak menganut paham ideologi komunisme. Dan akhirnya di lengkapi oleh Wikileaks, yang membuka dokumen-dokumen rahasi Amerika lainnya tentang keterlibatan AS dalam mendukung gerakan peralihan kekuasaan di Indonesia pada tahun 1965.

Oleh: Ahmad Turmuzi (Guru Smp Negeri 4 Jerowaru)

Berita terkait