SULTENG,- KEPOLISIAN Daerah Sulteng cq Direktorat Reserse Kriminal Khusus di Pra Peradilankan rekanan (kontraktor) Ibrahim Salim ST. Hal itu disebabkan kasus yang diajukan termohon (Polda) tak kunjung selesai, yaitu sejak Oktober 2014 lalu sesuai LP/542/X/2014/Polda Sulteng tanggal 6 Oktober 2014 dengan menetapkan Pemohon sebagai tersangka. Akibat penetapan itu, pemohon tidak dapat menjalankan (kerugian) atas perusahaannya sebagai rekanan (kontraktor/penyedia jasa).
Sesuai keterangan yang disampaikan ke redaksi kailipost.com, Pemohon adalah pemenang lelang pekerjaan pembangunan Ruko di Jalan Gajah Mada Palu oleh Pokja pembangunan Ruko tanggal 12 Agustus 2013 lalu. Hal itu didukung dengan kontrak antara kuasa pengguna anggaran selaku PPK Bidang Cipta Karya Dinas PU Donggala dengan PT Sartika hafifa Perdana.
Keberatan utama; pemohon telah menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan kontrak dan selesai 100 persen dan telah diserahterimakan ke Pemkab Donggala. Atas pekerjaan itu, 30 April 2014 dilakukan pemeriksaan BPK RI ternyata ada kekurangan volume atas pekerjaan senilai Rp99,994 juta dan Rp97,0 juta dan denda keterlambatan sebesar Rp118 juta. Atas temuan BPK itu, Pemohon telah mengembalikan pada Kasa negara sesuai bukti setoran masing-masing tanggal 7 Mei 2014 dan 05 Mei 2014 serta 05 Mei 2014 masing masing ke rekening Pemda pada bank BNI.
Ternyata, Polda memanggil pemohon sesuai surat panggilannya S.Pgl/73/III/2015/Ditreskrimsus tanggal 30 Maret 2015, dugaan tindak pidana korupsi atas pembangunan Ruko Pemkab Donggala. Atas dasar itu termohon melakukan penyidikan tanggal 08 Oktober 2014. Berdasarkan itu, termohon tidak melakukan penyelidikan terlebih dahulu sesuai KUHP dan Perkap Kapolri No 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana pasal 15.
‘’Seandainya termohon telah meminta keterangan ahli, namun hal ahli tersebut tidak berwenang menghitung adanya kerugian negara, hal itu berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup dan bukti yang cukup dalam pasal ! angka 14, pasal 17 dan pasal 21 ayat (1) KUHP oleh MK harus dimaknai sebagai minimal dua alat bukti yang dimiliki termohon dalam hal penetapan pemohon sebagai tersangka.’’ Demikian bunyi gugatan Praperadilan pemohon.
Berdasarkan hal itu, maka pemohon menyatakan; bahwa penetapan tersangka melanggar HAM karena presumption of innosence menjadi tidak jelas. Kedua; menuntut kepastian hukum, Ketiga; badan/pejabat tata usaha negara dilarang melakukan penyalahgunaan wewenang. Sidang Pra Peradilan dipimpin hakim Dede Salim, SH MH di Pengadilan Negeri Palu. **
Reportase: Andono Wibisono