Siswa SD Ini Kerja Biayai Hidup

  • Whatsapp

Reportase: Ikhsan Madjido


TANGANNYA Dengan cekatan mencuci talenan bekas masak ‘kacang aspal’ di sebuah
tempat usaha produksi jajanan khas Palu di Jalan Cemangi Kelurahan Boyaoge,
Kamis (2/5/2019).

Tidak ada rasa lelah tersirat di wajahnya, meski pulang sekolah dan
menjelang Maghrib baru selesai melaksanakan tugasnya.

Keringatnya dihargai Rp20 ribu setiap hari dan ini dia gunakan untuk
membiayai hidup dan peralatan sekolah.

Ya, Gein Januarta adalah seorang
anak SD yang sudah berjuang untuk mencari nafkah sendiri.

Hal ini dikarenakan Gein Januarta yang saat ini numpang
tinggal di rumah temannya. Kedua orangtuanya sudah memutuskan untuk hidup
masing-masing. 
Ibunya sudah menikah lagi dan tinggal di Kabupaten
Poso, sedangkan ayahnya yang sudah menikah pula, masih tinggal di Palu.

Gein memilih hidup mandiri dan numpang tinggal di
rumah temannya yang ekonominya lemah, dibanding dengan ayah dan ibu tirinya
yang tergolong mampu.

Ia ‘makan gaji’ mencuci talenan agar dapat uang
jajan sekolah dan kebutuhannya sehari-hari. 
Saat ditanya tentang kesehariannya, bocah
laki-laki ini mengaku tidak capek dan tetap bersemangat.

“Kalo buat hidup tidak ada kata capek,”
ujar Gein Januarta.

Kendati sambil bekerja, hal itu tidak mengganggu
kegiatan belajar Gein di sekolah ataupun di rumah. Ia mengaku sangat menyukai
pelajaran Matematika. Makanya, Gein kerap mendapat nilai bagus untuk mata
pelajaran eksak itu. Bahkan. Dia sempat menunjukkan nilai 100 untuk mata
pelajaran Matematika.

Tak pernah sekalipun mulutnya mengucapkan kata
mengeluh atau malu demi memenuhi biaya sekolah dan kebutuhan hidup.
“Kenapa harus malu, toh apa yang saya lakukan ini tidak melanggar
hukum,” terangnya.


“Asal halal dan tidak merugikan orang lain,
pekerjaan apa pun saya lakukan untuk bertahan hidup dan biayai sekolah,”
ucapnya.

Pantang baginya untuk meminta-minta kepada orang lain
dan orang tuanya. “Selama ini, saya tidak pernah lagi meminta apa pun
kepada orangtua, kecuali doa restu mereka,” katanya.

Tamat SD Gein akan melanjutkan studinya di salah satu
pesantren di Kecamatan Palu Utara.

“Saya sudah selesai ujian akhir kemarin, jadi ada
waktu kerja dari pagi, menambah upah agar bisa dikumpul untuk lanjut ke
pesantren,” tutupnya.

Salut deh buat Gein, masih kecil tapi udah kerja untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya! Dari sini kita belajar suvu, supaya ke depannya lebih
bersyukur dengan kehidupan yang kita punya, nakana ledo?

Pekerja Anak dan Ujian Pendidikan Kita
Fenomena maraknya pekerja anak ibarat fenomena gunung es. Hanya sedikit
fakta yang dapat terungkap, sedangkan yang lain tak (di)muncul(kan) ke
permukaan. Anak-anak seharusnya tidak ditemukan bekerja di tempat produksi.

Banyak orang tua masa kini yang beranggapan bahwa anak
harus bisa mandiri sejak dini. Hal tersebut tidaklah salah, tapi mendidik anak
untuk mandiri bukan berarti mengajarkan mereka untuk bekerja mencari nafkah
sejak usianya masih hijau.
Di Indonesia, kebanyakan anak terpaksa bekerja karena
dituntut menopang keluarganya yang kurang mampu. Di negara-negara yang sudah
lebih maju, seperti Amerika Serikat, anak-anak digembleng untuk mandiri dengan
mencari pekerjaan sendiri sejak kecil.Hal tersebut sebenarnya tidak sepenuhnya
salah.
Namun, ilmuwan perilaku manusia dari Rand Corp. Rajeev
Ramchand menggarisbawahi adanya potensi laten seorang anak yang terbiasa
bekerja sejak kecil untuk tumbuh menjadi remaja pembangkang, rentan terjerumus
alkohol, narkoba, rokok, dan gemar berkelahi.
Rajeev melakukan penelitian yang tercatat di American Journal of Preventive Medicine
tentang kaitan beban kerja pada anak terhadap perilaku negatif mereka semasa
remaja atau dewasa.
“Kami paham bahwa bekerja memang bisa menimbulkan hal
positif, tapi jangan lupa bahwa saat anak-anak bekerja, mereka lebih rentan
terpapar hal-hal yang lebih buruk,” ungkapnya, dikutip dari Reuters.
Rajeev berpendapat fenomena ‘good kids gone bad
(anak baik-baik menjadi nakal) disebabkan karena orang tua mereka melonggarkan
pengawasan saat mereka bekerja. Mereka tidak tahu apa yang dilakukan
anak-anaknya ketika bekerja.
“Seharusnya orang tua konsisten memantau apa yang
dilakukan anak-anaknya, di manapun. Tanyakan dan diskusikan dengan orang-orang
terkait tentang apa saja yang dilakukan si anak selama bekerja,” tegasnya.
Biar bagaimanapun, kehilangan masa bermain saat
anak-anak akan memengaruhi keseimbangan psikis seseorang ketika beranjak
dewasa. Apalagi, jika periode kritis tersebut luput dari atensi orang tuanya.**

Berita terkait