Koordinator Sulteng Bergerak, Adriansa Manu dalam Siaran Persnya. Selasa (28/01/2020) mendesak Pemprov dan DPRD Sulawesi Tengah membatalkan rencana pengesahaan revisi tata ruang wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Tengah sebelum peta zona rawan bencana (ZRB) dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah kepada publik.
Pasalnya, beredar pemberitaan di media bahwa peta ZRB tersebut mengabaikan hasil survei kerentanan gempa bumi dan likuifaksi yang dibuat oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Sementara kata Adriansa, peta ZRB Pasigala yang beredar saat ini menjadi rujukan untuk penyusunan RTRW Kota Palu dan sekitarnya.
“Kok bisa sesama institusi pemerintah saling berbeda kajian dan informasi, padahal ini menyangkut hidup matinya warga Sulawesi Tengah khususnya masyarakat di Pasigala. Jangan main-main, korban gempa bumi 28 september 2018 itu tidak sedikit akibat kelalaian dan pengabaian pemerintah atas kajian dan mitigasi bencana.” Tegas Adriansa
Kata Adriansa, pemerintah harus melakukan kajian kembali terkait dengan kerentanan gempa bumi dan likuifaksi di Kota Palu, termasuk seluruh kabupaten yang ada. Sebab kata dia, informasi yang beredar di media terkait dengan perbedaan peta ZRB dan peta kerawanan gempa bumi dan likuifaksi yang disusun BMKG sangat meresahkan.
“Kita ingin pemerintah betul-betul jujur dengan kajian mereka jangan sampai warga dikorbankan hanya karena ada kepentingan segelintir orang.”
Dia menyanyangkan perbedaan peta ZRB yang dibuat pemerintah pusat melalui sejumlah kementerian dan peta kerawanan gempa dan likuifaksi yang disusun BMKG. “Kalau kita liat dua peta ini sangat berbeda, karena di peta BMKG, pusat kota Palu itu masuk zona terbatas dan zona terlarang artinya potensi kerawanan gempa dan likuifaksinya sangat tinggi. Tetapi, di peta ZRB justru masuk dalam zona pengembangan dan zona bersyarat, ini mengerikan bagi warga kota Palu ke depan.”
Menurutnya, ada yang ditutupi dengan informasi ini. Apalagi kata dia BMKG tidak menandatangani peta ZRB karena peta tersebut dianggap mengabaikan potensi gempa dan likuifaksi yang membahayakan keselamatan warga, seperti yang beritakan oleh kompas pada 27 januari 2020 dalam investigasinya.
Sehingga kata dia, peta ZRB Pasigala tidak bisa digunakan sebagai dasar kerawanan bencana gempa dan likuifaksi dalam penyusunan revisi RTRW baik Provinsi Sulawesi Tengah maupun Kota Palu, Sigi dan Donggala.
Kata dia, Pemprov Sulteng dan DPRD Provinsi Sulawesi Tengah, sebaiknya tidak tergesa-gesa membahas hasil penyusunan revisi RTRW Provinsi Sulawesi Tengah, karena menurutnya Kota dan Kabupaten akan merujuk pada kebijakan RTRW Provinsi. “Kita berharap pemerintah Sulawesi Tengah melakukan kajian kembali untuk menghindari kejadian bencana yang sudah terjadi sebelumnya, sebab Kota Palu dan beberapa kabupaten di Sulteng memiliki riwayat gempa bumi yang dasyat, dimana daya rusaknya sangat tinggi.”
Kata Adriansa, sejumlah kajian terkait kerawanan bencana di Sulawesi Tengah sebenarnya sudah banyak, sehingga dapat digunakan dan dikembangkan untuk perencanaan ruang. Tetapi, kata dia, pemerintah selalu saja mengabaikan sejumlah kajian ilmiah itu dalam perencanaan pembangunan di daerah ring of fire ini.
Dia berharap pemerintah benar-benar mengutamakan keselamatan warganya dalam perencanaan ruang. “Jangan sampai ruang kita lebih banyak untuk investasi, tetapi mengabaikan kerawanan gempa bumi dan likuifaksi serta potensi bencana lainnya.”
Menurut Adriansa, pemerintah lebih baik melakukan investasi besar dalam riset-riset ilmiah terkait kebencanaan dan mitigasinya. Sebab masalah utama kita di daerah yang berada di jalur ring of fire ini adalah potensi bencana ketika terjadi fenomena alam seperti gempa bumi.
“Kalau itu tidak dilakukan, maka fenomena alam akan menjadi musibah besar dimana warga akan banyak terbunuh akibat ketidaksiapan pemerintah dalam menyiapkan mitigasi bencana.” Kata Adriansa
Selanjutnya, kata dia pemerintah harus mengembangkan teknologi pendeteksi pergerakan seismik sebagai alarm bagi semua warga. Sehingga, ketika terjadi gempa bumi besar, masyarakat bisa menyelamatkan diri dengan cepat.
Menurut Adriansa, negara seperti Meksiko dan Chili telah menerapkan teknologi ini. “Kita sebenarnya bisa belajar dari Meksiko atau Chili, dan sejumlah negara yang sudah memiliki mitigasi bencana yang baik untuk perlindungan warganya.” Kata Adriansa
Kata dia, Meksiko bisa menjadi contoh baik untuk pengembangan teknologi peringatan dini bagi warga ketika gempa hendak terjadi. Meksiko memiliki aplikasi yang dapat memberikan pesan singkat secara massal melalui ponsel bagi warganya, ketika gempa besar akan terjadi. Begitu pula di Negara Chili, pemerintahnya telah membuat aplikasi alarm sedemikian rupa sebagai peringatan dini bagi warganya. Sehingga, kata dia warga Chili bisa segera berlindung sebelum adanya gempa bumi.
Bahkan kata Adriansa, pemerintah di dua Negara ini telah membuat aturan standar konstruksi bangunan dan infrastruktur, serta sistem penanganan pascabencana yang berusaha untuk mengakomodasi orang-orang yang paling membutuhkan bantuan dengan prioritas yang sudah diatur terutama bagi masyarakat rentan dan miskin.
“Pemerintah kita sebetulnya bisa melakukan ini, hanya saja kendalanya mereka tidak memiliki interest politik untuk mengembangkan mitigasi yang benar-benar melindungi warganya dari ancaman bencana.” Tutur Adriansa. ***
Sumber/Reporter: Sulteng Bergerak/Arman Seli