Palu,- Puluhan massa tergabung dalam Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Sulawesi Tengah (Sulteng) mendatangi Kantor Gubernur Sulteng, Senin (20/1/2020).
Kehadiran serikat buruh memprotes penerapan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang saat ini draf tersebut telah masuk dalam rencana pembahasan di DPR.
Mereka memprotes pembahasan isi draf tidak pernah melibatkan serikat pekerja yang notabene merupakan lembaga khusus menangani persoalan ketenagakerjaan. Sehingga rancangan pembahasan Ombibus Law disinyalir merugikan para pekerja.
” Hari ini rencananya dimasukan ke DPR dalam bentuk draf tetapi kami tdk pernah dilibatkan. Banyak informasi beredar bahwa akan ada pengurangan misalnya pesangon, upah perjam, UMK tidak ada, kasus pidana tidak ada Perda ketenagakerjaan kemungkinan akan dicabut,” tutur Koordinator Wilayah (Korwil) KSBSI Sulteng Arlan.
Dalam aksi itu, para pendemo meminta agar bentuk hubungan kerja yang berlaku haruslah berbentuk PKWT dan PKWTT serta diberlakukan bagi pekeja dalam Era Industri digital.
Masa aksi, menolak diberlakukannya sistem upah perjam dalam pengupahan.
Upah minimum sebagai Safety Net harus menjadi pertimbangan dalam sistem pengupahan.
Mereka meminta Rancangam Undang-undang (RUU) Cipta Kerja tersebut harus mempertimbangkan keberlangsungan seluruh Program Jaminan Sosial (BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan) sebagai proram wajib bagi seluruh pekerja/buru di Perusahaan.
Termasuk, RUU ini harus memastikan terciptanya Pekerja Layak (Decent Work) dan Upah Layak ( Decent Wage) untuk mendukung pendapatan negara melalui pajak.
Selain persoalan Omnibus Law, demostrasi kali ini pun memuat issue lokal menuntut terkait pengawas pekerja dan kehadiran pegawai mediator di daerah.
Menurut Korwil KSBSI Sulteng Arlan, peran pengawas tidak pernah menetapkan Perusahaan yang bermasalah dengan pekerja untuk menjadi tersangka. Sejauh ini permasalajan masuk ke persidangan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) lebih kepada persoalan Normatif.
Begitu pun, jumlah pegawai mediator pekerja dinilai masih sangat sedikit. Saat ini masih berpusat di Kota Palu, sehingga jika berurusan perkara dengan jarak Kabupaten ke Ibu Kota Provinsi harus mengeluarkan biaya lebih untuk transportasi. Mereka berharap agar pegawai mediator bisa terbentuk disetiap Kabupaten.
” Buruh ini tidak ada yang kaya. Gajinya pas-pasan sehingga kalau itu digunakan untuk ongkos pengurusan itu tidak cukup. Kami minta pengawai mediator berada di setiap Kabupaten/ Kota,” tegas. ***
Reporter: Supardi